Laman

Sabtu, 06 April 2013

Wanita Penanti Senja



           Wanita itu kesehariannya hanya menunggu pukul 5 sore. Duduk sendiri terdiam sampai maghrib. Dengan kamera yang selalu setia di kalungannya. Wanita desa itu selalu sendiri, lemah lembut, dan manis.
            Sampai suatu hari wanita itu kedatangan seorang pria kota yang sedang berlibur. Pria itu tertarik dengan wanita desa itu. Entah kenapa, mungkin karena pria itu juga menyukai fotografi.
            “Ehemm.. Permisi. Saya lagi liburan disini, saya cucu dari eyang Dulham. Kamu sendirian saja disini?” Ujar pria kota itu.
            “Iya, aku selalu menikmatinya sendiri.” Ujar wanita itu tanpa memandang pria kota yang disebelahnya.
            “Menikmati apa?”
            “Senja. Langit selalu indah ketika senja datang.”
            “Kamu benar. Oh iya, siapa nama kamu?” Tanya pria kota itu.
            “Saya Ara.”
            “Saya Gery. Kamu tinggal dimana?”
            “Kamu kearah pohon jambu itu aja, disana ada rumah dengan cat merah muda, itu rumah eyang Rohmah. Eyang Dulham pasti kenal.” Jawab wanita itu tanpa sedikitpun menoleh ke arah Gery.
            “Kalau gitu, nanti aku boleh berkunjung kerumah kamu?”
            “Tentu.” Jawab wanita itu.
Hening..
            “Aku pulang dulu ya, sepertinya senja sore ini sudah selesai.” Ujar wanita desa itu.
            “Oke..”
            Wanita desa itu tidak sedikitpun menoleh kearah Gery. Sampai Gery sedikit kesal, dan menyangka kalau wanita itu sombong.
            Dirumah eyang Dulham, keluarga besar eyang Dulham selesai makan malam bersama. Gery adalah salah satu cucu yang dekat dengan eyangnya.
            “Eyang, Gery mau nanya deh?” Ujar Gery.
            “Nanya apa?”
            “Eyang kenal.. Hmm.. Eyang Rohmah?” Tanya Gery.
            “Ya kenal. Memang ada apa?”
            “Eyang pasti tahu, perempuan yang tinggal bersama eyang Rohmah itu?”
            “Ara? Dia cucunya, memang ada apa? Kapan kamu bertemu dia?” Tanya Eyang Dulham.
            “Tadi sore. Aku juga sempet ngobrol sama Ara. Apa dia sombong, eyang?”
            “Ara perempuan yang manis, dia ramah. Kamu naksir sama dia?” Jawab Eyang.
            “Nggak, kayaknya dia sombong.”
            “Mungkin karena dia belum kenal kamu.”
            “Tapi eyang. Selama aku ngobrol sama dia, sedikitpun dia gak lihat wajah aku.” Ujar Gery.
            “Oh ya? Mungkin Ara melihatnya dari hati.” Canda eyang.
            “Ih eyang aku serius.”
            “Eyang juga serius. Dia memang selalu mlihat orang dari mata hatinya, karena mata aslinya sudah tidak berfungsi.”
            “Maksud eyang?” Gery penasaran.
            “Ara itu buta permanen, sudah lama semenjak ayahnya meninggal. Katanya sih dulu gara-gara kecelakaan, yang bisa ketolong cuma dia tapi kata dokter kedua matanya buta, sedangkan ayahnya udah gak bisa ketolong.” Cerita eyang.
Hening..
            “Oh gitu.. Aku bilang ke dia, kalau aku akan main kerumah dia.”
            “Oh ya, baguslah. Kamu yang sopan kalau berkunjung kerumah orang ya.”
            “Pasti eyang.”
****
            Sore kedua untuk Gery didesa itu. Dari jendela kamarnya Gery sudah melihat seorang wanita yang seperti biasa sedang menanti senja. Gery langsung berlari keluar untuk menemui wanita itu. Dan Gery pun tepat disamping wanita itu, Ara.
            “Hai..” Sahut Gery.
            “Hai..” Balas Ara.
            “Kamu ingat aku?” Tanya Gery.
            “Kamu cucunya eyang Dulham kan?” Jawab Ara sambil mengarahkan kameranya ke arah langit.
            “Iya. Hmm.. Kamu suka fotografi?” Tanya Gery.
            “Iya.”
            “Aku juga. Boleh lihat-lihat hasil potretan kamu?” Tanya Gery.
            “Semuanya ada dirumah, kamu boleh liat nanti.” Jawab Ara.
            “Oke..”
Hening..
            “Hmm.. Eyang Dulham udah ceritain tentang kamu.” Ujar Gery.
            “Untuk apa?”
            “Aku cuma mau tahu tentang kamu.”
            “Jadi apa aja yang kamu tahu dari eyang kamu?” Tanya Ara.
            “Maaf.. Tentang mata kamu. Eyang aku bilang kalau kamu gadis yang manis dan ramah.”
            “Eyang Dulham memang sering berlebihan.” Ujar Ara.
            “Tapi aku percaya kok.”
Hening.. Ara terus memotret langit itu, langit yang sedang senja itu.
            “Aku boleh nanya sama kamu?” Tanya Gery.
            “Tentang?”
            “Gimana kamu bisa memotret, kalau kamu saja tidak bisa melihat. Gimana kamu bisa melihat hasilnya?” Tanya Gery.
            “Aku gak perlu lihat hasilnya, yang penting sudah aku abadikan senja ini setiap harinya. Kalau masalah motret. Senja itu adanya cuma dilangit, dan langit itu adanya cuma diatas kita, gak pernah berubah tempat. Jadi arahkan saja kamera ke atas, ke arah langit.” Jawab Ara.
            “Kamu benar juga. Aku jadi malu nanya kayak gitu, bodoh banget ya.” Ujar Gery.
            “Kamu mau melihat hasil jepretan aku?” Tanya Ara.
            “Boleh.”
            “Semua ada dirumahku.”
            “Aku mau kerumah kamu.”
            Gery dan Ara pun pulang kerumah eyang Rohmah, sampai dirumah sepertinya mereka mencium bau makanan yang lezat.
            Gery bertemu dengan Eyang Rohmah. Eyang Rohmah memang ramah, jago masak. Pria kota itu melihat-lihat foto di sekitar dinding-dinding rumah Eyang Rohmah. Ada seorang pria dengan latar belakang senja di pantai.
            “Di foto itu siapa? Dipantai itu?” Tanya Gery.
            “Ayahku, dulu.” Jawab Ara yang sedang memberikan minuman untuk Gery.
Hening..
            “Ini hasil jepretan aku.” Ujar Ara sambil memberikan sebuah album foto yang lumayan tebal itu.
            Dibukanya album foto itu, setiap halamannya selalu senja, senja dan senja lagi. Senjanya memang berbeda, namun hasil potretannya selalu senja, tidak ada objek yang lain, yang ada cuma senja. Album foto setebal itu, cuma diisi foto-foto senja. Dan dibawah kiri setiap foto itu selalu ada tanggal pengambilan.
            “Kenapa kamu selalu memoto senja?” Tanya Gery.
            “Entahlah, cuma itu yang aku bilang indah.” Jawab Ara.
            “Kenapa gak pemandangan yang lain? Hutan, sawah, atau mungkin pantai?”
            “Dulu aku sering kepantai dengan ayahku, tapi tetap saja yang aku ambil hanyalah senja. Aku suka melihat sunset dipantai. Dan terakhir sunset yang aku lihat dengan ayahku, itu sunset terindah yang pernah kami lihat, beda dengan sunset yang lain. Senjanya juga lebih hidup. Kamu bisa lihat di halaman 13, foto yang diambil tanggal 8 April 2007, tepat di hari ulang tahun ayahku saat itu.” Cerita Ara.
            “Maaf.. Lalu setelah itu?” Tanya Gery.
            “Setelah itu, aku gak pernah lagi kepantai.” Jawab Ara.
            “Tapi kamu mau kesana?”
            “Entahlah, aku aja udah gabisa ngeliat. Percuma kesana, akupun udah gabisa melihat sunset.” Ujar Ara.
            “Lho, bukannya kamu selalu melihat dari hati. Kata eyangku begitu. Kamu selalu bisa merasakan apapun.”
            “Haha.. Memangnya aku Tuhan, yang Maha Melihat walau buta.” Ujar Ara.
            Malam itu Gery makan malam dirumah Eyang Rohmah bersama Ara. Mereka semakin dekat. Cerita-cerita tentang latar belakang masing-masing. Ara semakin banyak tersenyum dengan hadirnya Gery.
****
            Sore ketiga Gery di desa itu, dia masih melihat Ara yang sedang menanti senjanya.
            “Hai, Ra?” Sahut Gery.
            “Hai, Ger.”
            “Terlalu siang untuk nunggu senja. Kamu gak kepanasan?” Ujar Gery.
            “Bahkan aku pernah menunggu lebih siang dari ini.”
            “Apa sehari tanpa senja kamu gak bisa hidup?” Tanya Gery.
            “Haha mungkin..” Ara tersenyum.
Hening..
            “Berhubung senjanya masih lama. Aku mau ngajak kamu kesesuatu tempat.” Ujar Gery.
            “Kemana?” Tanya Ara.
            Ara dan Gery pun pergi dengan mobil Gery. Sedikit jauh dari desa mereka. Dan 1 jam kemudian pun mereka sampai.
            Mereka berjalan menuju tempat itu, perlahan Gery sambil menggandeng Ara. Raut wajah Ara sedikit ceria.
            Mereka berhenti diatas pasir. Ara mencium tempat itu. Aroma air yang asin, dan suara desiran ombak yang sangat kencang.
            “Aku kembali mencium aroma pantai.” Ujar Ara.
            “Kenapa kamu bisa tahu kalau aku bawa kamu ke pantai.” Tanya Gery.
            “Pasti kamu mengira aku melihatnya dengan hati lagi. Hmm.. Dengan suara ombak yang kencang itu dan aroma air asin, masa iya aku gak tahu kalau ini pantai. Akupun merasakan pasir-pasir yang sedang aku injak ini, ini pasir pantai.” Ujar Ara.
            “Haha, kamu benar juga ya. Gagal dong surprisenya.” Ujar Gery.
            “Nggak gagal kok, aku terharu banget kamu ngajak aku kesini. Udah 5 tahun aku gak pernah ke pantai lagi.” Ujar Ara.
            “Oh ya? Hmm.. Senjanya mulai dateng. Warnanya indah, sebentar lagi bakalan ada sunset.” Ujar Gery.
            Ara langsung mengarahkan kameranya ke depan, dan memotretnya.
            “Kenapa kamu gak ngarahin kamera kamu ke atas?” Tanya Gery.
            “Pertanyaan yang bikin kamu bodoh lagi. Ini pantai, bukan rumahku.” Jawab Ara.
            Sore itu mereka berdua menghabiskan waktu bersama di pantai, sampai matahari benar-benar terbenam, dan langitpun menghitam.
            “Waw.. hasil jepretan kamu bagus banget.” Ujar Gery.
            “Oh ya? Seandainya aku bisa ngeliat.” Jawab Ara.
            Gery menatap Ara yang manis itu dengan penuh keinginan.
            “Ra, keinginan kamu selama ini apa?” Tanya Gery.
            “Keinginan? Hmm.. Keinginan aku selama ini, aku mau hasil fotoku ada disuatu pameran. Kayak ayahku dulu.” Ujar Ara.
            “Kamu gak mau melihat?”
            “Melihat? Itu beda lagi. Itu memang keinginan setiap orang yang buta.” Ujar Ara.
            Gery terharu melihat Ara, wanita buta itu yang selalu menanti kehadiran senja setiap sore.

****
            Pagi itu kepala Gery sangat sakit. Obat-obatan yang Gery bawa dari kota sudah hampir habis. Keluarganya sedikit khawatir dengan keadaan Gery yang semakin menurun. Ternyata selama ini Gery mengidap penyakit radang pembuluh darah stadium akhir. Entah berapa lama lagi Gery akan bertahan.
            Sore itu wajah Gery sudah sangat pucat. Dia menghampiri Ara ditempat biasa.
            “Ara..?” Sahut Gery.
            “Hai, Ger. Sore sekali kamu keluarnya. Senjanya sudah ingin pergi.” Ujar Ara.
            “Aku baru bangun. Aku kelewatan momen ya?”
            “Nggak kok, besok juga ada lagi.” Ujar Ara.
            “Tapi belum tentu besok bisa aku lihat.”
            “Kenapa?” Tanya Ara serius.
            “Hmm.. Soalnya besok pagi aku akan ke kota. Kota tempat tinggal aku sedikit jauh dari desa ini.”
            “Gapapa kok. Disana juga pasti ada senja yang lebih indah.”
            “Aku gak yakin.” Ujar Gery sambil memotret Ara diam-diam.
            “Kenapa?” Tanya Ara.
            “Disana kota, aku gak yakin kalau senjanya lebih indah dari senja disini.”
            “Bukan itu, maksud aku kenapa kamu motret aku?” Tanya Ara.
            “Hmm.. Aku ingin punya kenang-kenangan aja dari kamu.” Jawab Gery.
Hening..
            Ara memberikan selembar foto untuk Gery. Salah satu foto senjanya.
            “Simpan ini untuk kenang-kenangan dari aku.” Ujar Ara.
            “Makasih ya, Ra.” Ujar Gery.

****

            Pagi itu keluarga Gery bersiap-siap untuk kembali ke kotanya. Gery melihat arah rumah Ara, namun tak terlihat ada Ara.
            “Eyang, nanti salam untuk Ara ya, aku minta maaf kalau gak bisa pamit langsung kerumahnya pagi ini.”
            “Iya, nanti eyang salamin untuk Ara.”
            Semua sudah siap untuk berangkat.
            “Kalian hati-hati ya. Gery, jaga kesehatan kamu ya.” Ujar Eyang.
            “Iya, eyang juga ya.”
            Gery dan keluarganya pun pergi dari desa itu, dan kembali ke kotanya.
            Di sore hari seperti biasa terlihat seorang wanita yang menanti senja sambil mengalungkan kameranya. Dia merasa kesepian, tidak ada lagi yang menegur dia ‘hai’. Pria kota itu sudah pergi ke tempat asalnya.
            Sebulan sudah Ara tidak bertemu lagi dengan Gery. Tidak ada kabar apapun dari Gery. Bahkan eyang Dulham tidak memberi tahu apapun tentang Gery. Mungkin Gery sedang sibuk disana. Wanita itu merindukan suara Gery yang setiap sore menemani dia menikmati senja.
****
            Pagi itu eyang Rohmah sedang bahagia dan dengan semangatnya eyang Rohmah membangunkan cucunya itu, Ara.
            “Ara, bangunn. Ayo sayang, cepet bangun.” Ujar Eyang Rohmah.
            “Ada apa, eyang?” Tanya Ara dengan raut wajah yang masih ngantuk.
            “Tadi eyang dapet telfon dari rumah sakit, kalau ada kornea mata untuk kamu. Kamu akan segera operasi mata.” Ujar Eyang semeringah.
            “Oh ya? Kapan eyang? Kapan?” Tanya Ara senang.
            “Pagi ini sayang. Pokoknya sekarang kamu mandi, siap-siap, soalnya kamu operasi di rumah sakit kota sana.”
            ‘Rumah sakit kota? Aku akan kekota? Aku akan ketemu Gery tidak ya?’ Batin Ara.
            “Ih aduh neng geulis eyang teh kenapa malah bengong. Udah cepet atuh, eyang mau masakin sarapan yang enak dulu untuk kamu.” Ujar eyang.
            “Iya eyang, iya.” Jawab Ara dengan bergegas bangun dari ranjangnya.

****

            Eyang Rohmah dan Ara pun sudah siaga dirumah sakit. Ara sudah tidur di ruang operasi, sudah memakai perlengkapan operasi. Dokter pun sudah siap.
            “Eyang, doain Ara ya. Biar semuanya berhasil.” Ujar Ara.
            “Iya Ara, eyang pasti doain kamu. Pasti.” Ujar Eyang Rohmah.
            ‘Gery, tunggu aku ya. Aku akan cari kamu dan memamerkan mata baruku. Dan aku bisa melihat senja kembali.’ Batin Ara.
            Dokter dan beberapa susterpun segera mengerumuni Ara, lampu itu menyala. Perasaan Ara sangat degdegan. Ara meneteskan airmatanya.
            Eyang Rohmah yang sedang menunggu di depan ruang operasi tiba-tiba melihat eyang Dulham yang sedang jalan terburu-buru.
            “Bu Dulham?” Sahut Rohmah.
            “Lho, bu Rohmah? Lagi ngapain disini? Siapa yang sakit? Ara mana?” Tanya Dulham.
            “Ara sedang menjalani operasi mata, bu.” Ujar Rohmah.
            “Syukurlah, jadi Ara sudah mendapatkan pendonor mata?” Tanya Dulham.
            “Iya bu. Bu Dulham sendiri ngapain disini?”
            “Cucu saya, Gery. Tadi subuh, saya ditelfon anak saya, kalau Gery... meninggal dunia.” Ujar Dulham sambil meneteskan airmatanya.
            “Innalillahi wainnalillahi raji’un. Memangnya Gery sakit apa, bu?” Tanya Rohmah kaget.
            “Dia mengidap penyakit radang pembuluh darah. Salam sama Ara ya, semoga operasinya berhasil.” Ujar bu Dulham.
            “Iya bu. Ibu yang tabah ya. Salam sama anak-anak ibu.” Ujar Rohmah sedih.
            Eyang Rohmah tidak percaya kalau Gery, teman cucunya itu pergi meninggalkan dunia. Apa yang harus diceritakan ke Ara. Sedangkan proses operasi Ara masih berjalan. Eyang Rohmah hanya berdoa agar operasinya Ara lancar dan berhasil, dan semoga arwah Gery  diterima disisi Tuhan. Gery itu anak baik dan sopan, kenapa secepat ini meninggalkan dunia.

****
            Sebulan kemudian, disuatu tempat pameran fotografi. Hasil foto-foto senja itu terpampang di dinding, semua foto itu hasil jepretan Ara, banyak pengunjung yang menyukainya, bahkan sampai ada yang berani membayarnya hingga ratusan juta.
            Ara, wanita penanti senja itu dengan senyumannya yang manis, sambil melihat-lihat hasil jepretannya yang sedang terpampang. Ara menoleh ke lawan arah, dia melihat sebuah foto wanita yang sedikit ia kenal. Ia mendekati foto itu, ternyata itu foto dia. Foto itu berjudul ‘senja terindah’ dan ada amplop yang nempel di kiri bawah foto itu. Didalamnya ada sebuah ketas, Ara membacanya.
            ‘Senja di desa memang lebih indah dari senja dikota. Aku tidak tahu apa yang membuat senja di desa itu indah. Apakah wanita itu? Tanpa harus melihat, dia bisa merasakan. Tanpa mencari tahu, dia sudah tahu. Setiap sore, wanita itu menanti sebuah senja yang dituntut harus datang. Tanpa senja mungkin dia tidak bisa hidup. Senja yang ini beda dari senja-senja lainnya. Senja yang ini sangat indah, dan ingin selalu kulihat. Senja itu Ara.’ Tertulis: Gery. Dibelakang tulisan itu ternyata hasil foto yang Ara berikan untuk Gery sebelum dia pergi ke kota.
            Ara meneteskan airmatanya. Jadi ini yang Gery berikan untuk Ara. Sesuatu yang lebih indah dari senja, sangat indah.
            Tiba-tiba dari arah samping ada pria yang tidak sengaja memotret wajah Ara.
            “Maaf, saya cuma ingin mengambil objek wajah anda, boleh?” Ujar pria itu.
            “Iya, silahkan..” Balas Ara.
            “Foto-foto hasil jepretan kamu bagus-bagus ya. Katanya semua foto ini diambil saat keadaan kamu masih buta?” Tanya pria itu.
            “Iya..:)”
            “Oh iya. Saya Rama, penulis artikel disalah satu majalah. Saya ingin menulis artikel tentang kamu, karena saat saya dengar cerita tentang kamu, menarik sekali bagi saya.” Ujar pria itu.
            “Makasihh..”
            Pria itu memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk Ara, untuk dimuat ke majalah edisi minggu depan. Sambil bercanda-canda, dan mereka mulai kenal dekat.
****
            Sore dengan senja yang sangat indah, kuning, biru, oranye, semua warna menjadi satu dengan awan-awan itu. Ara berdiri diatas ribuan pasir itu, Ara memotret senja itu, sambil menanti terbenamnya matahari.
            ‘Aku jadi malu Ger untuk memamerkan mata baruku ke kamu, ternyata kamu yang udah tau duluan tentang mata baruku ini. Siapa sebenarnya kamu? Datang begitu saja, dan pergi begitu saja, dengan kenangan yang indah ini. Mata kamu indah, Ger. Seindah senja. Aku janji gak akan nyakitin mata kamu, aku janji akan selalu menjaga mata kamu. Terimakasih ya, Ger. Sekarang aku sudah bisa melihat senja dengan mata ini. Ternyata senjanya masih indah, dan akan selalu indah. Dan aku, wanita si penanti senjamu, aku akan selalu menanti senja sampai kapanpun.’ Ujar Ara dalam hati.
            ‘Aku sudah menikah, dengan pria si penulis artikel ini. Rama namanya. Dia sama sepertimu. Dan sekarang, aku tinggal menanti senja baruku yang akan lahir, Arama. Tunggu Arama sebulan lagi ya, maka senja itu akan sempurna.’ Ujar Ara dalam hati.

Tidak ada komentar: