Laman

Senin, 04 Maret 2013

Januari di Jakarta

              Orang bilang Jakarta kejam. Untuk melangkah menuju Jakarta akupun ragu, namun selagi mampu aku memutuskan untuk ke Jakarta. Aku Kikan, wanita kelahiran Surabaya 20 tahun yang merantau ke Jakarta untuk meneruskan pendidikan. Aku kuliah semester 3 yang mengambil fakultas Ekonomi di Universitas Negeri Jakarta. 2 tahun aku tinggal bersama tanteku di Jakarta. Dan 2 tahun pula aku menunggu seseorang yang sering kuperhatikan di sudut kantin. Gara, seniorku. Entahlah, dari awal aku OSPEK yang terlintas dimata hatiku ya dia.
            Tidak pernah sekatapun aku berbicara dengannya. Tidak cukup nyali untuk tersenyum dengannya apalagi menyapanya. Lihat wanita-wanita yang sedang bercanda-canda dengan Gara. Indah sekali jika aku bisa menjadi wanita-wanita itu, dekat dengan Gara.
            Ini adalah pembukaan tahun yang baru. Awal-awal bulan Januari. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku terkurung oleh hujan deras di kampus. Hujan pertama di bulan Januari. Serintik demi serintik aku tatap butiran-butiran air yang jatuh tepat di hadapanku.
            Aku memperhatikan Gara yang sedang duduk-duduk sambil bercanda ria bersama teman-temannya. Entah siapa yang menyuruh Gara untuk menoleh ke arahku, apakah Tuhan, ataukah malaikat, atau hanya hembusan angin yang berlalu. Aku terkejut dan canggung kelewat batas. Kubuang pandanganku dengan ragu. Menyesal, tapi aku malu. Tidak lagi aku menoleh ke arah mereka. Pandanganku tetap pada rintikan hujan saja. Ribuan detik kunantin redanya hujan, namun tak kunjung jua. Ribuan detik itupun aku tak sadar orang-orang disekitarku sedikit demi sedikit menghilang melawan hujan. Mereka pulang.
            Ada penyesalan dalam diriku. Kenapa hari ini aku tidak membawa jaket, kenapa hari ini aku tidak membawa payung. Tapi itu hanya penyesalan biasa, yang selalu datang di akhir peristiwa. Tiba-tiba seorang laki-laki dengan fostur tubuh lebih tinggi dariku datang disampingku. Itu Gara. Kulihat sekelilingku, teman-temannya Gara sudah menghilang.
            “Belum pulang?” Ujar Gara padaku.
            Tuhan.. 2 kata yang disampaikan untukku dari Gara. 2 kata itu sangat berarti di awal tahun ini. 2 kata itu sangat indah untuk mewakili ribuan rintik hujan ini.
            “Belum.. Masih hujan.” Jawabku tentu saja memberikan senyuman termanisku.
            “Aku bawa payung, kamu mau pinjam?” Ujar Gara.
            Kalian pernah jalan disebuah labirin, dengan ribuan pertigaan yang sulit untuk kita pilih, tapi dengan kerjakeras kita akan menemukan jalan keluar. Apa ini yang dimaksud sebuah labirin. Bertahun-tahun aku menunggu sebuah jalan keluar agar bisa ngobrol berdua dengan Gara, dan inilah saatnya.
            “Nggak usah, makasih. Aku tunggu hujan reda aja.” Dengan menyesal aku menjawab seperti itu. Semoga saja Gara peka dan mengulangi penawarannya lagi sampai aku menerimanya.
            “Nggak apa-apa kok. Dimotorku ada mantel, aku bisa pakai mantel nanti. Kamu bawa dulu aja payung aku. Kampus udah sepi, kamu mau sendirian disini.” Gara menawarkan lagi.
            “Gapapa nih?” Tanyaku polos sambil menerima payung itu.
            “Gapapa kok. Yaudah aku duluan ya.” Gara pergi berlari melewati hujan menuju parkiran.
            Aku masih menggenggam payung dari Gara. Tuhan.. apa ini semua nyata? Awal Januari dengan hujan dan sebuah moment yang membuat aku menjadi seperti siswa SMU kembali, entahlah yang pasti aku merasa lebih muda.
            Ini payung pinjaman Gara, tapi entah mengapa aku menganggapnya ini Gara yang melindungiku dari hujan yang datangnya rombongan. Ternyata hujan yang sering dibilang orang-orang mendatangkan kesedihan, tapi untuk aku hujan ini sangat membuatku tersenyum.
            Keesokan harinya di kampus, sangat pagi. Aku mencari Gara. Memang aku yakin Gara belum datang karena masih sangat pagi. Aku masih menggenggam payungnya Gara. Tiba-tiba aku menabrak wanita sampai kami jatuh. Ternyata itu ka Deliana, wanita yang sering ngumpul bareng Gara.
            “Maaf ka.. Maaf..” Ujarku.
            “Iya gapapa kok.” Balas Ka Deliana.
            “Hmm kak, ka Gara udah dateng belum ya?” Tanyaku.
            “Oh belum, emangnya kenapa?”
            “Gapapa kok. Makasih.” Akupun langsung meninggalkan Deliana.
            Aku akan mengembalikan payung ini langsung ke tangan Gara. Dengan alasan agar aku bisa untuk kedua kalinya berbicara dengan Gara.
            Pukul 9.00 pagi. Aku melihat Gara berjalan di lorong menuju kelasnya. Entahlah, aku tidak bisa berteriak memanggil namanya. Perlahan aku mengikutinya dari belakang, hampir dekat dan dekat.
            “Ka Gara..” Sahutku. Dan Gara pun menoleh ke belakang, ke arahku.
            “Hei..”
            “Aku mau balikin payung yang kemarin.”
            “Kenapa gak dipegang aja dulu. Nanti kalau hujan lagi gimana.”
            “Gapapa kok. Aku udah bawa payung sendiri. Makasih ya ka.” Ujarku.
            Dan diterimanya payung itu oleh Gara. Sedikit kurang ikhlas karena aku ingin sekali menyimpan sebagian pemberian dari Gara.
            Tidak ada kelas, dan aku hanya duduk sendiri di kantin. Seperti biasa ditemani secangkir capuccino dan laptopku. Sambil menulis moment yang paling berharga yang telah aku lewati.
Tentang hujan dan payung. Seimbang bukan. Hujan dan payung itulah saksi awal aku berbicara dengan Gara. Saksi awal 2 kata yang Gara ucapkan untukku “belum pulang?” teringat jelas dan suara-suara itu masih terdengar. Pandangannya masih terlukis jelas. Notasinya masih lancar. Gerak-gerik bibirnya masih terbayang. Kelewatan sekali aku, tapi inilah cinta. Gara! Hmm.. Gara-gara kamu aku jatuh cinta...
            Saat aku lagi asyik menulis di laptopku, tepat Gara berada di kursi hadapanku. Reflek aku langsung menutup laptopku, dag-dig-dug. Kenapa ada Gara dihadapanku.
            “Hei, gak ada kelas?” Tanya Gara.
            “Nggak ada. Sendirinya?” Ujarku.
            “Baru keluar. Sekarang sih udah gak ada kelas.”
            “Kenapa gak pulang aja?”
            “Nanti, lagi nungguin Deli.”
            “Owh..”
            Hening..
            “Kamu sendiri nungguin apa?” Tanya Gara.
            “Nungguin hujan...... Eh hmm maksud aku, sebentar lagi aku pulang kok.” Jawabku canggung.
            “Oh oke..”
            Tiba-tiba Gara menoleh ke arah handphonenya.
            “Kikan, aku duluan ya. Deli udah keluar. Bye.”
            Gara menyebut namaku, Kikan. Indah sekali.
            Setiap aku online, gak pernah aku tidak ngestalk twitternya Gara. Se-la-lu. Kenapa avatarnya sama Deliana. Persahabatan yang manis. Pingin jadi Deliana, selalu dekat dengan Gara.
            Beberapa detik kemudian aku berfikir. Berbulan-bulan aku hanya menyimpan foto dari avatarnya Gara saja, itu juga aku krop sebagian wajah Deliana. Kenapa aku tidak berfikir untuk mencari akun facebook. Bisa jadi fotonya lebih banyak.
            Bergegas aku langsung membuka tab facebook. Langsung kucari nama lengkapnya, Anggara Prabawa Suseno. Sulit sekali menemukan nama itu, berkali-kali kucoba Anggara Prabawa, Anggara Suseno, Gara Prabawa, dan blablabla. Semua berakhir not found. Atau Gara tidak punya facebook. Lalu aku berfikir untuk mencari facebook Deliana, Deliana Putri. Secepat kilat akun itu nongol, aku buka profilnya. Niatnya aku ingin mencari akun facebook Gara di pertemanan Deliana. Tapi ternyata, berencana untuk mencari facebook Gara itu sangat menyesal karena berakhir mengecewakan, sangat mengecewakan. Air mataku dengan cepat menetes dipipi. Terlihat di info relationship Deliana, terpampang akun facebook Gara ‘Garpra Suseno’ Mereka berdua ternyata pacaran. Sudah hampir 5 bulan. Kenapa aku tidak pernah tahu, kenapa baru sekarang aku tahu, ketika aku sudah mulai berbicara dengan Gara, ketika aku sudah merasa memasuki lampu kuning menuju hatinya Gara.
            Seandainya saat itu tidak hujan, aku pasti langsung pulang. Tidak ada peristiwa ngobrol seperti itu kalau berujung seperti ini.
Hujan itu. Payung itu. Dan Januari. Mereka bukan apa-apa. Mereka menjengkelkan. Mereka semua pemberi harapan palsu, sweet nothing! Jakarta? Ya Jakarta memang kejam, tidak salah lagi jika orang berbicara seperti itu. Gara! Ya gara-gara kamu aku pupus..’
            Kututup laptopku sebagai tanda bahwa dengan terpaksa aku harus membuka kelelahan pagi diesok hari, lelah hati dan fikiran. Ke kampus, dan bertemu Gara serta Deliana. Dengan kemesraan mereka yang dipamerkan depanku. Indah sekali!
            Di kampus, dengan cuaca yang sangat dingin. Dan becekan-becekan bekas hujan yang membasahi tanah. Apa mereka tahu kalau hati aku juga sedang ternodai.
            “Kikan..”
            Suara itu? Keras sekali, terdengar dari arah belakang. Aku mengenal suara itu, ya itu suara Gara. Sangat lantang dia teriak namaku, dan hatiku lumpuh ketika mendengar suaranya. Aku menoleh kebelakang, itu memang Gara yang akan menuju kehadapanku. Tapi siapa yang ia gandeng, seorang wanita. Pacarnya, Deliana.
            “Kikan maaf, ini bolpoint kamu kan. Kemarin jatuh saat kita tabrakan.” Ujar Deliana.
            “Oh ya? Wah makasih ya kak, aku juga gak sadar.” Balasku.
            “Yaudah kita permisi dulu ya, Kan..” Sambung Gara.
            “Iya..”
            Kenapa bolpoint aku harus jatuh ditangan Deliana. Aku benci melihat mereka berdua. Seharusnya yang digandeng Gara itu aku, seharusnya yang relationship dengan Gara di facebook itu aku, seharusnya ava twitternya Gara itu bersamaku. Seharusnya semua itu aku, bukan Deliana.
            Hujan lagi hujan lagi. Sudah cukup aku tertipu dengan sejuknya hujan. Benar kata mereka, hujan bikin galau. Tidak lagi aku menikmati indahnya rintikan hujan, aku harus melawan hujan seperti mereka.
            Aku pulang. Tidak lagi percakapan seperti dulu. Dan payung ini tetap melindungiku, tapi bukan payung Gara, ini payung tanteku. Dikamar aku masih tertekan, sungguh ini sakit sekali. Selama 2 tahun dan berakhir seperti kilat yang sangat menggoreskan hati. Aku khawatir luka ini pasti lama sembuhnya.
            Semenjak kutahu kejadian itu, aku mulai jarang stalking akunnya Gara. Tapi kenapa Gara jadi sering nongol di Timeline. Abaikan. Semenjak itupula aku jadi jarang online, aku takut ada Gara di Timeline, yang cuma bisa ngasih aku harapan palsu.
Gara, dia pembuka cintaku di Jakarta. Seniorku yang sempat marah-marah padaku saat OSPEK. Seniorku yang berhasil menyentuh hatiku sampaiku terjatuh, terjatuh untuk mencintai dia. Dia sangat berhasil membuatku untuk menunggu. Sekian lama dan lama sekali. Memandangnya dari jauh, mencintainya dengan sepenuh hati. Dan Gara juga berhasil membuatku pupus, sangat berhasil. Sampaiku terdiam, hingga hati mulai melayu. Air mataku seperti hujan deras yang sangat deras mengguyur bunga hati hingga layu. Cinta. Cinta itu sederhana, ketika kita mulai kasmaran dan merasakan sakit hati, kita sudah menikmati utuhnya cinta. Gara, kamu adalah seseorang yang selalu aku tulis, tapi aku hanya seseorang yang gak pernah kamu baca. Gara, you permanent to me, but I just temporary for you..
            Di kantin kampus dengan gerimis hujan yang dari tadi belum juga berhenti. Terlihat Gara yang sedang duduk sendirian. Aku tidak ingin menegurnya. Tapi ternyata Gara melihatku, dan dia memanggilku. Tuhan.. kenapa harus sekarang. Aku benci moment seperti ini. Aku sakit, sakit sekali. Tidak kuat menahannya di depan Gara, ingin aku menangis, tapi sulit. Sulit karena saking sakitnya hati aku.
            “Kikan..” Tegur Gara.
            “Ya..” Jawabku lembut.
            “Sini temenin aku, aku bete sendirian.”
            “Deliana kemana?” Tanyaku dengan terpaksa.
            “Dia gak masuk. Sakit.”
            “Gar, aku mau ngomong serius sama kamu deh.” Ujarku grogi.
            “Ngomong apa ya?”
            Ya Tuhan, aku gak percaya. Apa aku harus ungkapin semuanya. Ungkapin yang selama ini aku pendam hingga sekarang.
            “Kamu mau ngomong apa?” Tanya Gara mengagetkanku.
            “Maaf sebelumnya. Aku sakit hati sama kamu.”
            Maaf? Apa maksudnya kata ‘maaf’ Aku yang sakit hati dengan Gara, aku yang marah dengan Gara, kenapa aku yang minta maaf.
            “Sakit hati kenapa? Aku salah ngomong atau..”
            “Kamu salah semuanya.”
            “Tolong jelasin, biar aku tahu salah aku.”
            Apa aku serius mau ungkapin semuanya. Ini terlalu kilat dan kurang mungkin. Oke, aku harus percaya diri. Manfaatkan emansipasi wanita, aku harus optimis.
            “Aku suka sama kamu, dari awal aku OSPEK. Aku mengagumi kamu selama 2 tahun ini. Dan saat dimana kamu meminjamkan aku payung, itu awal kita ngobrol. Kamu tahu gimana perasaan aku, bahagia yang kelewat batas. Sulit untuk diutarakan. Dan aku merasa, itu suatu harapan kecil bagi aku. Lampu kuning bagi aku. Tapi setelah itu yang ku tahu apa. Aku baru tahu kalau selama ini kamu pacarnya Deliana. Sangat baru tahu. Mungkin aku yang salah, karena udah nyalahin kamu nyakitin perasaan aku. Itu cuma khayalan belaka aku untuk dapetin kamu. Deliana lebih cantik dari aku, dia juga baik. Maaf kalau dipagi ini aku udah bikin kamu nggak enak hati, tapi mungkin ini saatnya aku ungkapin semuanya.” Ujarku serius dengan mata sedikit berkaca-kaca.
            “Ka.. kamu.. serius?” Balas Gara gugup.
            “Iya, aku cuma ingin kamu tahu, ya sekedar tahu saja. Dan aku harap Deliana dan yang lainnya nggak tahu soal ini.” Jawabku.
            “Kamu gak lagi bercanda kan, gak lagi ngerjain aku kan.”
            “Oh nggak kok, kamu merasa kan kalau selama ini aku merhatiin kamu. Dan sekarang kamu udah tahu alasannya.” Ujarku.
            “Iya tapi aku gak percaya, dan..”
            “Sekali lagi aku minta maaf, Gar. Bukan maksud aku untuk menambah fikiran kamu, aku juga ingin lega. Permisi aku ada kelas.” Kenapa aku langsung pergi, ya karena air mataku sedetik lagi akan menetes.
            Ini bukan mimpi, kan. Apa ini akhir dari penantian aku selama 2 tahun, dan berakhir seperti ini, menyedihkan. Cinta gak selamanya bersatu. Dan aku tokoh dari cinta itu. Tidak kuat menahan air mataku, terus menetes berkala seperti gerimis hujan pagi ini. Aku harus apa ketika bertemu dengan Gara, bertemu dengan Deliana.
10 Januari aku mengungkapkannya. Perasaanku dan emosiku. Untung saja aku hidup ketika disahkannya emansipasi wanita, aku jadi percaya diri mengungkapkan semuanya. Tangisan ini, seperti turunnya hujan di bulan Januari selama ini. Dan hujan Januari ini sangat mengundangku untuk ikut serta menangis menemani hujan. Hujan, mendung, sama seperti hatiku. Ini memang bulanku..
            Semenjak kejadian itu, Gara semakin memperhatikanku. Dan entah aku jarang melihat Gara dengan Deliana. Aku takut karena kejadian itu, mereka jadi berpisah. Dan aku penyebab semuanya.
            Hujan itu kembali lagi dan mengurungku di kampus. Bosan. Lagi-lagi dihadapanku ada Gara. Aku jadi tidak enak. Disaat aku sedang menatapi rintikan hujan, lelaki itu menghampiriku, Gara.
            “Gak bawa payung lagi?” Ujarnya.
            “Nggak. Kadang hujan ngeledek. Disaat aku bawa payung dia gak turun, disaat aku gak bawa payung dia turun.”
            “Aku juga lagi gak bawa payung. Kamu suka ngopi?” Tanya Gara.
            “Lumayan, kenapa?”
            “Gimana kalau kita ngopi dulu dikantin, nunggu hujan reda.” Ujarnya.
            Kami berdua pun ngopi bersama dikantin saat itu, dan aku masih merasakan kesejukan dihati saat bersamanya.
            “Deliana sakit apa?” Tanyaku.
            “Terakhir aku contackan sama Deli, dia cuma bilang kalau dia sakit flu. Setelah itu, sms aku udah nggak pernah dibales lagi.”
            “Maksud kamu? Sampai sekarang kamu losscontack?” Tanyaku penasaran.
            “Ya gitulah, tapi gapapa kok. Nanti aku mau ke apartemennya, kamu ikut ya?”
            “Apa? Aku ikut?” Tanyaku serius.
            “Iya, sekalian jengukin Deli.”
            “Hmm.. Oke deh.”
            Aku dan Gara menuju ke apartemen Deliana, dengan cuaca yang mulai cerah dan jalanan yang basah bekas hujan.
            Apartemennya sepi sekali. Aku jadi deg-degan berjalan di lorong-lorong apartemen bersama Gara. Sampai tepat didepan pintu apartemen Deliana. Gara menekan bellnya. Beberapa kali Gara menekan bellnya, lama sekali direspon. Setelah beberapa kali Gara menekan bellnya, Deliana pun keluar. Dengan wajah yang kusut, rambut yang berantakan, celana yang sangat pendek, kaos oblong yang hingga terlihat tali kaos dalamnya.
            “Gara?” Ujar Deliana sedikit gugup.
            Gara tanpa izinpun langsung masuk kedalam dan menarikku. Ruangan sedikit bau rokok. Entah kesalahan hidungku atau apa, tapi Gara juga menciumnya.
            “Deli, kamu ngerokok?” Tanya Gara.
            Deliana hanya diam, raut wajahnya seperti lelah.
            “Deli kamu sakit apa?” Tanya Gara lagi.
            “Aku flu, sayang.” Jawab Deliana lemas.
            “Kamu nggak terlihat flu, malah kamu terlihat seperti habis begadang. Kamu mulai lagi ya..”
            “Sayang, haduh mulai apa sih. Aku emang sakit, aku baru bangun tidur. Tapi besok aku kuliah kok.” Ujar Deliana.
            “Terus selama ini kamu kemana aja, gak bales sms aku, gak ngabarin aku!”
            “A.. aku gak ada waktu buat bales sms kamu sayang, aku benar-benar gak kuat sama flunya. A.. aku...”
            “Siapa sih sayang...” Tiba-tiba suara laki-laki dari arah kamar Deliana.
            Aku melihat tatapan Gara ke Deliana, sangat tajam dan kejam. Gara langsung berlari menuju kamar Deliana. Deliana mencoba mencegahnya, namun karena kondisi Deliana yang sedikit lemas, ia tidak sanggup mencegah Gara. Gara kaget ketika melihat seorang lelaki yang hanya mengenakan celana santai di kasur.
            Aku melihat wajah Gara yang sangat marah. Dan aku hanya bisa diam. Aku takut. Tanpa sepatah katapun, Gara langsung keluar dan menarikku. Sampai diluar Gara pun masih menarik tanganku, wajahnya sangat marah, sedikitpun tidak menoleh ke arahku.
            Saat kami memasuki lift, suasana semakin damai. Lama-kelamaan wajah Gara yang panas, mulai sejuk. Dan Gara mulai bicara padaku.
            “Maaf, seharusnya kamu gak liat kejadian kayak tadi.” Ujar Gara.
            “Aku yang minta maaf, seharusnya aku gak ikut tadi. Aku jadi nggak enak sama kalian.” Balasku.
            “Gapapa kok. Lagipula aku udah sering digituin sama Deli.”
            “Digituin gimana maksud kamu?” Tanyaku penasaran.
            “Ya seperti yang kamu lihat tadi. Ini bukan yang pertama untukku. Beberapa kali Deli sering kepergok.”
            “Ohya? Terus kenapa kamu masih mau sama dia? Hmm.. Maksud aku, kenapa kamu masih pertahanin dia?” Tanyaku gugup.
            “Awalnya niat aku mau merubah dia. Ternyata dia keras kepala, malah aku sering dikhianatin sama dia. Aku coba bertahan, karena aku benar-benar mau merubah dia. Tapi ternyata aku sering kali gagal.” Ujar Gara.
            Ternyata cinta Gara sangat tulus untuk Deliana, tapi kenapa malah dikhianati seperti ini. Gara gak pantas untuk dikhianati, Gara salah pilih cinta. Kasian Gara, gak seharusnya Gara disakitin seperti ini. Apa aku harus menghiburnya, apa aku harus selalu disamping dia. Tapi bukankah itu sama aja seperti mencari kesempatan untuk mendapatkan lampu hijau dari Gara.
            Semenjak kejadian kemarin, Gara menjadi murung. Gara menjadi menyendiri. Ingin rasanya aku mendekati, namun aku takut. Entah apa yang aku takutkan, tapi saat ini hanya rasa takut yang ada.
            Saat itu aku tidak ada kelas. Aku sedang berjalan ingin menuju kelas Gara. Tapi tidak sengaja didepan kelas Gara, aku melihat mereka berdua. Ya, Gara dan Deliana. Terlihat sedang bertengkar. Aku semakin takut mendengarnya.
            “Kamu nyadar gak sih, udah berapa kali kamu minta maaf soal ini? Hah udah berapa kali. Aku itu terus sabar. Tapi kamunya?...” Ujar Gara keras.
            “Aku tau, aku tau aku salah. Tapi aku sayang sama kamu Gara. Aku sayang banget sama kamu..” Balas Deliana.
            “Dengan ini? Dengan cara ini kamu membuktikan kalau kamu sayang sama aku. Kamu khianatin aku, kamu ke cowok lain, terus setelah itu kamu minta maaf lagi ke aku, terus kamu balik lagi ke aku. Iya? Hah? Aku capek ya! Kamu tau, ini bukan pertama kamu ngelakuin seperti itu sama aku...”
            “Iya.. Iya aku sadar. Tapi kamu ngertiin aku dong.. aku tuh sayang sama kamu.”
            “Apa? Ngertiin kamu? Ngertiin kamu kalau kamu itu cewek yang gak cukup satu cowok, iya? Udahlah ya, sumpah aku udah capek banget sama kamu. Aku mau kita putus sekarang! Mulai sekarang kamu bebas mau berhubungan sama berapa banyak cowokpun itu bukan urusan aku lagi. Kamu udah gak usah ngumpet-ngumpet dari aku lagi karena sekarang aku bukan siapa-siapa kamu lagi. Kita selesai sekarang!” Ujar Gara sangat marah.
            Gara meninggalkan Deliana. Deliana masih terus teriak-teriak memanggil Gara yang sudah pergi. Aku hanya diam mendengar mereka berdua bertengkar, aku jadi gak enak. Aku merasa bersalah dengan semuanya. Kenapa harus aku yang mendengar peristiwa itu, kenapa harus aku yang melihat kejadian kemarin.
Kejadian kemarin. Peristiwa dikampus tadi. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kenapa harus aku? Aku jadi merasa bersalah, menjadi seperti penghancur hubungan orang. Entah kenapa, aku sedih melihat Gara yang tersakiti seperti itu. Ingin rasanya kuberikan pundakku untuk Gara..
            “Hei..” Sahut Gara tepat disampingku. Hampir saja Gara melihat tulisanku dilaptopku. Untung aku segera klik minimize.
            “Hei, kemana aja baru keliatan.” Ujarku basa-basi.
            “Tentang masalah kemarin, masalah aku sama Deliana..”
            “Ya? Kalian kenapa?”
            “Aku udah mutusin Deliana, aku udah capek sama dia.” Ujar Gara.
            Aku hanya diam. Aku bingung, aku salah atau nggak. Aku penghancur hubungan mereka atau nggak.
            “Kok diam? Kenapa?” Sahut Gara.
            “Aku bingung aja..”
            “Bingung? Bingung kenapa?”
            “Aku gak tau, aku takut. Karena aku, kalian jadi putus.”
            “Karena kamu? Kamu lihat kan kemarin. Deli yang nyebabin sendiri.”
            “Iya tapi..”
            “Cuma karena kejadian itu setelah kamu ngungkapin perasaan kamu ke aku? Itu cuma kebetulan, yang bikin kamu jadi takut.” Ujar Gara.
            Hening..
            “Kamu nggak usah takut. Ini semua bukan karena kamu.” Ujar Gara lagi.
            “Ya maaf ya sekali lagi..” Ujarku gugup.
            “Yaudah, kamu nggak usah berfikir seperti itu lagi. Hmm.. Besok libur, aku mau ngajak kamu jalan-jalan ke taman, bagus deh. Kamu pasti suka.”
            “Ohya?”
            “Iya.. Gimana kamu mau?
            Ya tentu aja tidak aku tolak penawaran itu, berdua dengan Gara. Aku gak nyangka, bisa jalan bareng dengan Gara.
            “Yaudah aku pulang duluan, bye.” Ujarku.
            19 Januari, Gara menjemputku. Tepat didepan rumah tanteku, dia menantiku. Indah rasanya. Kami menuju ke taman, entah taman apa. Tapi taman ini indah banget. Dengan cuaca yang sedikit mendung, padahal aku udah berdoa banget agar hari ini jangan sampai hujan. Kami duduk di sebuah bangku di tengah-tengah taman.
            “Kikan.. Aku mau ngasih sesuatu buat kamu.” Ujar Gara.
            Oh my God. Sesuatu apa? Dari Gara? Aku nggak percaya. Lalu Gara mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Ya Tuhan! Apa itu. Itu.. Itu.. Itu laptop aku, iya laptop aku. Ternyata kemarin laptop aku ketinggalan tepat dihadapannya, dan masih dalam keadaan nyala. Aku sangat panik, sangat panik, apa dia baca semuanya.
            “Ini laptop kamu kemarin ketinggalan.” Ujar Gara.
            “Kok.. Kok bisa?” Ujarku gugup.
            “Manusia itu tidak luput dari sifat lupa, apalagi ceroboh. Untung laptop kamu ada ditangan aku... Kenapa? Kamu malu sama semua tulisan kamu. Mungkin, ini semua rencana Tuhan agar aku baca tulisan kamu.” Ujar Gara.
            “Ta.. Tapi..”
            “Tulisan kamu semua bagus, ya karena objeknya juga bagus. Semuanya tentang aku, aku suka banget. Dan aku juga suka banget sama penulisnya.”
            “Apa?” Ujarku sangat gugup dan kaget.
            “Ternyata aku buta ya, kenapa aku lebih memilih yang salah kalau dihadapan aku ada yang benar. Kamu yang ngerubah semuanya. Kamu yang rubah aku untuk sadar. Dan aku sayang sama kamu. Aku mau kamu jadi pacar aku.”
            Ya Tuhan.. Gara nembak aku. Ini benar? Ini bukan mimpi kan? Apa benar penantian aku selama 2 tahun ini akan berakhir seperti ini. Ini indah banget.
            “Gimana kamu mau jadi pacar aku?” Ujar Gara lagi.
            Dan akupun mengangguk, nggak mungkin aku menolak penawaran ini. Dan beberapa detik kemudian, hujanpun turun tiba-tiba. Entah ada apa, kamipun langsung mencari tempat berteduh.
            “Aku mau nulis tentang kejadian hari ini..” Ujarku ke Gara. Dan kubuka laptopku.
19 Januari, akhir dari penantianku selama 2 tahun ini. Gara, selalu dia yang kutulis. Sekarang dia udah membacanya. Dan hujanpun turun lagi, menjadi saksi aku dan Gara bersatu. Hujan memang ngeledek. Kadang bisa membuat aku galau, dan kadang membuatku bahagia. Jakarta, gak selamanya kejam. Dan Januari, selalu jadi yang terawal..

Tidak ada komentar: