Tidak pernah sekatapun aku berbicara dengannya. Tidak
cukup nyali untuk tersenyum dengannya apalagi menyapanya. Lihat wanita-wanita
yang sedang bercanda-canda dengan Gara. Indah sekali jika aku bisa menjadi
wanita-wanita itu, dekat dengan Gara.
Ini adalah pembukaan tahun yang baru. Awal-awal bulan
Januari. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku terkurung oleh hujan
deras di kampus. Hujan pertama di bulan Januari. Serintik demi serintik aku
tatap butiran-butiran air yang jatuh tepat di hadapanku.
Aku memperhatikan Gara yang sedang duduk-duduk sambil
bercanda ria bersama teman-temannya. Entah siapa yang menyuruh Gara untuk
menoleh ke arahku, apakah Tuhan, ataukah malaikat, atau hanya hembusan angin
yang berlalu. Aku terkejut dan canggung kelewat batas. Kubuang pandanganku
dengan ragu. Menyesal, tapi aku malu. Tidak lagi aku menoleh ke arah mereka.
Pandanganku tetap pada rintikan hujan saja. Ribuan detik kunantin redanya
hujan, namun tak kunjung jua. Ribuan detik itupun aku tak sadar orang-orang
disekitarku sedikit demi sedikit menghilang melawan hujan. Mereka pulang.
Ada penyesalan dalam diriku. Kenapa hari ini aku tidak
membawa jaket, kenapa hari ini aku tidak membawa payung. Tapi itu hanya
penyesalan biasa, yang selalu datang di akhir peristiwa. Tiba-tiba seorang
laki-laki dengan fostur tubuh lebih tinggi dariku datang disampingku. Itu Gara.
Kulihat sekelilingku, teman-temannya Gara sudah menghilang.
“Belum pulang?” Ujar Gara padaku.
Tuhan.. 2 kata yang disampaikan untukku dari Gara. 2 kata
itu sangat berarti di awal tahun ini. 2 kata itu sangat indah untuk mewakili
ribuan rintik hujan ini.
“Belum.. Masih hujan.” Jawabku tentu saja memberikan senyuman
termanisku.
“Aku bawa payung, kamu mau pinjam?” Ujar Gara.
Kalian pernah jalan disebuah labirin, dengan ribuan
pertigaan yang sulit untuk kita pilih, tapi dengan kerjakeras kita akan
menemukan jalan keluar. Apa ini yang dimaksud sebuah labirin. Bertahun-tahun
aku menunggu sebuah jalan keluar agar bisa ngobrol berdua dengan Gara, dan
inilah saatnya.
“Nggak usah, makasih. Aku tunggu hujan reda aja.” Dengan
menyesal aku menjawab seperti itu. Semoga saja Gara peka dan mengulangi
penawarannya lagi sampai aku menerimanya.
“Nggak apa-apa kok. Dimotorku ada mantel, aku bisa pakai
mantel nanti. Kamu bawa dulu aja payung aku. Kampus udah sepi, kamu mau
sendirian disini.” Gara menawarkan lagi.
“Gapapa nih?” Tanyaku polos sambil menerima payung itu.
“Gapapa kok. Yaudah aku duluan ya.” Gara pergi berlari
melewati hujan menuju parkiran.
Aku masih menggenggam payung dari Gara. Tuhan.. apa ini
semua nyata? Awal Januari dengan hujan dan sebuah moment yang membuat aku
menjadi seperti siswa SMU kembali, entahlah yang pasti aku merasa lebih muda.
Ini payung pinjaman Gara, tapi entah mengapa aku
menganggapnya ini Gara yang melindungiku dari hujan yang datangnya rombongan.
Ternyata hujan yang sering dibilang orang-orang mendatangkan kesedihan, tapi
untuk aku hujan ini sangat membuatku tersenyum.
Keesokan harinya di kampus, sangat pagi. Aku mencari
Gara. Memang aku yakin Gara belum datang karena masih sangat pagi. Aku masih
menggenggam payungnya Gara. Tiba-tiba aku menabrak wanita sampai kami jatuh.
Ternyata itu ka Deliana, wanita yang sering ngumpul bareng Gara.
“Maaf ka.. Maaf..” Ujarku.
“Iya gapapa kok.” Balas Ka Deliana.
“Hmm kak, ka Gara udah dateng belum ya?” Tanyaku.
“Oh belum, emangnya kenapa?”
“Gapapa kok. Makasih.” Akupun langsung meninggalkan
Deliana.
Aku akan mengembalikan payung ini langsung ke tangan
Gara. Dengan alasan agar aku bisa untuk kedua kalinya berbicara dengan Gara.
Pukul 9.00 pagi. Aku melihat Gara berjalan di lorong
menuju kelasnya. Entahlah, aku tidak bisa berteriak memanggil namanya. Perlahan
aku mengikutinya dari belakang, hampir dekat dan dekat.
“Ka Gara..” Sahutku. Dan Gara pun menoleh ke belakang, ke
arahku.
“Hei..”
“Aku mau balikin payung yang kemarin.”
“Kenapa gak dipegang aja dulu. Nanti kalau hujan lagi
gimana.”
“Gapapa kok. Aku udah bawa payung sendiri. Makasih ya
ka.” Ujarku.
Dan diterimanya payung itu oleh Gara. Sedikit kurang
ikhlas karena aku ingin sekali menyimpan sebagian pemberian dari Gara.
Tidak ada kelas, dan aku hanya duduk sendiri di kantin.
Seperti biasa ditemani secangkir capuccino dan laptopku. Sambil menulis moment
yang paling berharga yang telah aku lewati.
‘Tentang hujan dan payung. Seimbang bukan. Hujan dan payung itulah saksi
awal aku berbicara dengan Gara. Saksi awal 2 kata yang Gara ucapkan untukku
“belum pulang?” teringat jelas dan suara-suara itu masih terdengar.
Pandangannya masih terlukis jelas. Notasinya masih lancar. Gerak-gerik bibirnya
masih terbayang. Kelewatan sekali aku, tapi inilah cinta. Gara! Hmm.. Gara-gara
kamu aku jatuh cinta...’
Saat aku lagi asyik menulis di laptopku, tepat Gara
berada di kursi hadapanku. Reflek aku langsung menutup laptopku, dag-dig-dug.
Kenapa ada Gara dihadapanku.
“Hei, gak ada kelas?” Tanya Gara.
“Nggak ada. Sendirinya?” Ujarku.
“Baru keluar. Sekarang sih udah gak ada kelas.”
“Kenapa gak pulang aja?”
“Nanti, lagi nungguin Deli.”
“Owh..”
Hening..
“Kamu sendiri nungguin apa?” Tanya Gara.
“Nungguin hujan...... Eh hmm maksud aku, sebentar lagi
aku pulang kok.” Jawabku canggung.
“Oh oke..”
Tiba-tiba Gara menoleh ke arah handphonenya.
“Kikan, aku duluan ya. Deli udah keluar. Bye.”
Gara menyebut namaku, Kikan. Indah sekali.
Setiap aku online, gak pernah aku tidak ngestalk twitternya Gara. Se-la-lu. Kenapa
avatarnya sama Deliana. Persahabatan yang manis. Pingin jadi Deliana, selalu
dekat dengan Gara.
Beberapa detik kemudian aku berfikir. Berbulan-bulan aku
hanya menyimpan foto dari avatarnya Gara saja, itu juga aku krop sebagian wajah
Deliana. Kenapa aku tidak berfikir untuk mencari akun facebook. Bisa jadi
fotonya lebih banyak.
Bergegas aku langsung membuka tab facebook. Langsung kucari
nama lengkapnya, Anggara Prabawa Suseno. Sulit sekali menemukan nama itu,
berkali-kali kucoba Anggara Prabawa, Anggara Suseno, Gara Prabawa, dan
blablabla. Semua berakhir not found.
Atau Gara tidak punya facebook. Lalu aku berfikir untuk mencari facebook
Deliana, Deliana Putri. Secepat kilat akun itu nongol, aku buka profilnya.
Niatnya aku ingin mencari akun facebook Gara di pertemanan Deliana. Tapi
ternyata, berencana untuk mencari facebook Gara itu sangat menyesal karena
berakhir mengecewakan, sangat mengecewakan. Air mataku dengan cepat menetes
dipipi. Terlihat di info relationship Deliana, terpampang akun facebook Gara
‘Garpra Suseno’ Mereka berdua ternyata pacaran. Sudah hampir 5 bulan. Kenapa
aku tidak pernah tahu, kenapa baru sekarang aku tahu, ketika aku sudah mulai
berbicara dengan Gara, ketika aku sudah merasa memasuki lampu kuning menuju
hatinya Gara.
Seandainya saat itu tidak hujan, aku pasti langsung
pulang. Tidak ada peristiwa ngobrol seperti itu kalau berujung seperti ini.
‘Hujan itu. Payung itu. Dan Januari. Mereka bukan apa-apa. Mereka
menjengkelkan. Mereka semua pemberi harapan palsu, sweet nothing! Jakarta? Ya
Jakarta memang kejam, tidak salah lagi jika orang berbicara seperti itu. Gara!
Ya gara-gara kamu aku pupus..’
Kututup laptopku sebagai tanda bahwa dengan terpaksa aku
harus membuka kelelahan pagi diesok hari, lelah hati dan fikiran. Ke kampus,
dan bertemu Gara serta Deliana. Dengan kemesraan mereka yang dipamerkan
depanku. Indah sekali!
Di kampus, dengan cuaca yang sangat dingin. Dan
becekan-becekan bekas hujan yang membasahi tanah. Apa mereka tahu kalau hati
aku juga sedang ternodai.
“Kikan..”
Suara itu? Keras sekali, terdengar dari arah belakang.
Aku mengenal suara itu, ya itu suara Gara. Sangat lantang dia teriak namaku,
dan hatiku lumpuh ketika mendengar suaranya. Aku menoleh kebelakang, itu memang
Gara yang akan menuju kehadapanku. Tapi siapa yang ia gandeng, seorang wanita.
Pacarnya, Deliana.
“Kikan maaf, ini bolpoint kamu kan. Kemarin jatuh saat
kita tabrakan.” Ujar Deliana.
“Oh ya? Wah makasih ya kak, aku juga gak sadar.” Balasku.
“Yaudah kita permisi dulu ya, Kan..” Sambung Gara.
“Iya..”
Kenapa bolpoint aku harus jatuh ditangan Deliana. Aku
benci melihat mereka berdua. Seharusnya yang digandeng Gara itu aku, seharusnya
yang relationship dengan Gara di facebook itu aku, seharusnya ava twitternya
Gara itu bersamaku. Seharusnya semua itu aku, bukan Deliana.
Hujan lagi hujan lagi. Sudah cukup aku tertipu dengan
sejuknya hujan. Benar kata mereka, hujan bikin galau. Tidak lagi aku menikmati
indahnya rintikan hujan, aku harus melawan hujan seperti mereka.
Aku pulang. Tidak lagi percakapan seperti dulu. Dan
payung ini tetap melindungiku, tapi bukan payung Gara, ini payung tanteku. Dikamar
aku masih tertekan, sungguh ini sakit sekali. Selama 2 tahun dan berakhir
seperti kilat yang sangat menggoreskan hati. Aku khawatir luka ini pasti lama
sembuhnya.
Semenjak kutahu kejadian itu, aku mulai jarang stalking akunnya Gara. Tapi kenapa Gara
jadi sering nongol di Timeline. Abaikan. Semenjak itupula aku jadi jarang
online, aku takut ada Gara di Timeline, yang cuma bisa ngasih aku harapan
palsu.
‘Gara, dia pembuka cintaku di Jakarta. Seniorku yang sempat marah-marah
padaku saat OSPEK. Seniorku yang berhasil menyentuh hatiku sampaiku terjatuh,
terjatuh untuk mencintai dia. Dia sangat berhasil membuatku untuk menunggu. Sekian
lama dan lama sekali. Memandangnya dari jauh, mencintainya dengan sepenuh hati.
Dan Gara juga berhasil membuatku pupus, sangat berhasil. Sampaiku terdiam,
hingga hati mulai melayu. Air mataku seperti hujan deras yang sangat deras
mengguyur bunga hati hingga layu. Cinta. Cinta itu sederhana, ketika kita mulai
kasmaran dan merasakan sakit hati, kita sudah menikmati utuhnya cinta. Gara,
kamu adalah seseorang yang selalu aku tulis, tapi aku hanya seseorang yang gak
pernah kamu baca. Gara, you permanent to me, but I just temporary for you..’
Di kantin kampus dengan gerimis hujan yang dari tadi
belum juga berhenti. Terlihat Gara yang sedang duduk sendirian. Aku tidak ingin
menegurnya. Tapi ternyata Gara melihatku, dan dia memanggilku. Tuhan.. kenapa
harus sekarang. Aku benci moment seperti ini. Aku sakit, sakit sekali. Tidak
kuat menahannya di depan Gara, ingin aku menangis, tapi sulit. Sulit karena
saking sakitnya hati aku.
“Kikan..” Tegur Gara.
“Ya..” Jawabku lembut.
“Sini temenin aku, aku bete sendirian.”
“Deliana kemana?” Tanyaku dengan terpaksa.
“Dia gak masuk. Sakit.”
“Gar, aku mau ngomong serius sama kamu deh.” Ujarku
grogi.
“Ngomong apa ya?”
Ya Tuhan, aku gak percaya. Apa aku harus ungkapin
semuanya. Ungkapin yang selama ini aku pendam hingga sekarang.
“Kamu mau ngomong apa?” Tanya Gara mengagetkanku.
“Maaf sebelumnya. Aku sakit hati sama kamu.”
Maaf? Apa maksudnya kata ‘maaf’ Aku yang sakit hati
dengan Gara, aku yang marah dengan Gara, kenapa aku yang minta maaf.
“Sakit hati kenapa? Aku salah ngomong atau..”
“Kamu salah semuanya.”
“Tolong jelasin, biar aku tahu salah aku.”
Apa aku serius mau ungkapin semuanya. Ini terlalu kilat
dan kurang mungkin. Oke, aku harus percaya diri. Manfaatkan emansipasi wanita, aku
harus optimis.
“Aku suka sama kamu, dari awal aku OSPEK. Aku mengagumi
kamu selama 2 tahun ini. Dan saat dimana kamu meminjamkan aku payung, itu awal
kita ngobrol. Kamu tahu gimana perasaan aku, bahagia yang kelewat batas. Sulit
untuk diutarakan. Dan aku merasa, itu suatu harapan kecil bagi aku. Lampu
kuning bagi aku. Tapi setelah itu yang ku tahu apa. Aku baru tahu kalau selama
ini kamu pacarnya Deliana. Sangat baru tahu. Mungkin aku yang salah, karena
udah nyalahin kamu nyakitin perasaan aku. Itu cuma khayalan belaka aku untuk
dapetin kamu. Deliana lebih cantik dari aku, dia juga baik. Maaf kalau dipagi
ini aku udah bikin kamu nggak enak hati, tapi mungkin ini saatnya aku ungkapin
semuanya.” Ujarku serius dengan mata sedikit berkaca-kaca.
“Ka.. kamu.. serius?” Balas Gara gugup.
“Iya, aku cuma ingin kamu tahu, ya sekedar tahu saja. Dan
aku harap Deliana dan yang lainnya nggak tahu soal ini.” Jawabku.
“Kamu gak lagi bercanda kan, gak lagi ngerjain aku kan.”
“Oh nggak kok, kamu merasa kan kalau selama ini aku merhatiin
kamu. Dan sekarang kamu udah tahu alasannya.” Ujarku.
“Iya tapi aku gak percaya, dan..”
“Sekali lagi aku minta maaf, Gar. Bukan maksud aku untuk
menambah fikiran kamu, aku juga ingin lega. Permisi aku ada kelas.” Kenapa aku
langsung pergi, ya karena air mataku sedetik lagi akan menetes.
Ini bukan mimpi, kan. Apa ini akhir dari penantian aku
selama 2 tahun, dan berakhir seperti ini, menyedihkan. Cinta gak selamanya
bersatu. Dan aku tokoh dari cinta itu. Tidak kuat menahan air mataku, terus
menetes berkala seperti gerimis hujan pagi ini. Aku harus apa ketika bertemu
dengan Gara, bertemu dengan Deliana.
‘10 Januari aku mengungkapkannya. Perasaanku dan emosiku. Untung saja
aku hidup ketika disahkannya emansipasi wanita, aku jadi percaya diri
mengungkapkan semuanya. Tangisan ini, seperti turunnya hujan di bulan Januari
selama ini. Dan hujan Januari ini sangat mengundangku untuk ikut serta menangis
menemani hujan. Hujan, mendung, sama seperti hatiku. Ini memang bulanku..”
Semenjak kejadian itu, Gara semakin memperhatikanku. Dan
entah aku jarang melihat Gara dengan Deliana. Aku takut karena kejadian itu,
mereka jadi berpisah. Dan aku penyebab semuanya.
Hujan itu kembali lagi dan mengurungku di kampus. Bosan.
Lagi-lagi dihadapanku ada Gara. Aku jadi tidak enak. Disaat aku sedang menatapi
rintikan hujan, lelaki itu menghampiriku, Gara.
“Gak bawa payung lagi?” Ujarnya.
“Nggak. Kadang hujan ngeledek. Disaat aku bawa payung dia
gak turun, disaat aku gak bawa payung dia turun.”
“Aku juga lagi gak bawa payung. Kamu suka ngopi?” Tanya
Gara.
“Lumayan, kenapa?”
“Gimana kalau kita ngopi dulu dikantin, nunggu hujan
reda.” Ujarnya.
Kami berdua pun ngopi bersama dikantin saat itu, dan aku
masih merasakan kesejukan dihati saat bersamanya.
“Deliana sakit apa?” Tanyaku.
“Terakhir aku contackan sama Deli, dia cuma bilang kalau
dia sakit flu. Setelah itu, sms aku udah nggak pernah dibales lagi.”
“Maksud kamu? Sampai sekarang kamu losscontack?” Tanyaku
penasaran.
“Ya gitulah, tapi gapapa kok. Nanti aku mau ke apartemennya,
kamu ikut ya?”
“Apa? Aku ikut?” Tanyaku serius.
“Iya, sekalian jengukin Deli.”
“Hmm.. Oke deh.”
Aku dan Gara menuju ke apartemen Deliana, dengan cuaca
yang mulai cerah dan jalanan yang basah bekas hujan.
Apartemennya sepi sekali. Aku jadi deg-degan berjalan di
lorong-lorong apartemen bersama Gara. Sampai tepat didepan pintu apartemen
Deliana. Gara menekan bellnya. Beberapa kali Gara menekan bellnya, lama sekali
direspon. Setelah beberapa kali Gara menekan bellnya, Deliana pun keluar. Dengan
wajah yang kusut, rambut yang berantakan, celana yang sangat pendek, kaos
oblong yang hingga terlihat tali kaos dalamnya.
“Gara?” Ujar Deliana sedikit gugup.
Gara tanpa izinpun langsung masuk kedalam dan menarikku. Ruangan
sedikit bau rokok. Entah kesalahan hidungku atau apa, tapi Gara juga
menciumnya.
“Deli, kamu ngerokok?” Tanya Gara.
Deliana hanya diam, raut wajahnya seperti lelah.
“Deli kamu sakit apa?” Tanya Gara lagi.
“Aku flu, sayang.” Jawab Deliana lemas.
“Kamu nggak terlihat flu, malah kamu terlihat seperti
habis begadang. Kamu mulai lagi ya..”
“Sayang, haduh mulai apa sih. Aku emang sakit, aku baru
bangun tidur. Tapi besok aku kuliah kok.” Ujar Deliana.
“Terus selama ini kamu kemana aja, gak bales sms aku, gak
ngabarin aku!”
“A.. aku gak ada waktu buat bales sms kamu sayang, aku
benar-benar gak kuat sama flunya. A.. aku...”
“Siapa sih sayang...” Tiba-tiba suara laki-laki dari arah
kamar Deliana.
Aku melihat tatapan Gara ke Deliana, sangat tajam dan
kejam. Gara langsung berlari menuju kamar Deliana. Deliana mencoba mencegahnya,
namun karena kondisi Deliana yang sedikit lemas, ia tidak sanggup mencegah
Gara. Gara kaget ketika melihat seorang lelaki yang hanya mengenakan celana
santai di kasur.
Aku melihat wajah Gara yang sangat marah. Dan aku hanya
bisa diam. Aku takut. Tanpa sepatah katapun, Gara langsung keluar dan
menarikku. Sampai diluar Gara pun masih menarik tanganku, wajahnya sangat
marah, sedikitpun tidak menoleh ke arahku.
Saat kami memasuki lift, suasana semakin damai. Lama-kelamaan
wajah Gara yang panas, mulai sejuk. Dan Gara mulai bicara padaku.
“Maaf, seharusnya kamu gak liat kejadian kayak tadi.”
Ujar Gara.
“Aku yang minta maaf, seharusnya aku gak ikut tadi. Aku
jadi nggak enak sama kalian.” Balasku.
“Gapapa kok. Lagipula aku udah sering digituin sama
Deli.”
“Digituin gimana maksud kamu?” Tanyaku penasaran.
“Ya seperti yang kamu lihat tadi. Ini bukan yang pertama
untukku. Beberapa kali Deli sering kepergok.”
“Ohya? Terus kenapa kamu masih mau sama dia? Hmm.. Maksud
aku, kenapa kamu masih pertahanin dia?” Tanyaku gugup.
“Awalnya niat aku mau merubah dia. Ternyata dia keras
kepala, malah aku sering dikhianatin sama dia. Aku coba bertahan, karena aku
benar-benar mau merubah dia. Tapi ternyata aku sering kali gagal.” Ujar Gara.
Ternyata cinta Gara sangat tulus untuk Deliana, tapi
kenapa malah dikhianati seperti ini. Gara gak pantas untuk dikhianati, Gara
salah pilih cinta. Kasian Gara, gak seharusnya Gara disakitin seperti ini. Apa
aku harus menghiburnya, apa aku harus selalu disamping dia. Tapi bukankah itu
sama aja seperti mencari kesempatan untuk mendapatkan lampu hijau dari Gara.
Semenjak kejadian kemarin, Gara menjadi murung. Gara
menjadi menyendiri. Ingin rasanya aku mendekati, namun aku takut. Entah apa
yang aku takutkan, tapi saat ini hanya rasa takut yang ada.
Saat itu aku tidak ada kelas. Aku sedang berjalan ingin
menuju kelas Gara. Tapi tidak sengaja didepan kelas Gara, aku melihat mereka
berdua. Ya, Gara dan Deliana. Terlihat sedang bertengkar. Aku semakin takut
mendengarnya.
“Kamu nyadar gak sih, udah berapa kali kamu minta maaf
soal ini? Hah udah berapa kali. Aku itu terus sabar. Tapi kamunya?...” Ujar
Gara keras.
“Aku tau, aku tau aku salah. Tapi aku sayang sama kamu
Gara. Aku sayang banget sama kamu..” Balas Deliana.
“Dengan ini? Dengan cara ini kamu membuktikan kalau kamu
sayang sama aku. Kamu khianatin aku, kamu ke cowok lain, terus setelah itu kamu
minta maaf lagi ke aku, terus kamu balik lagi ke aku. Iya? Hah? Aku capek ya!
Kamu tau, ini bukan pertama kamu ngelakuin seperti itu sama aku...”
“Iya.. Iya aku sadar. Tapi kamu ngertiin aku dong.. aku
tuh sayang sama kamu.”
“Apa? Ngertiin kamu? Ngertiin kamu kalau kamu itu cewek
yang gak cukup satu cowok, iya? Udahlah ya, sumpah aku udah capek banget sama
kamu. Aku mau kita putus sekarang! Mulai sekarang kamu bebas mau berhubungan
sama berapa banyak cowokpun itu bukan urusan aku lagi. Kamu udah gak usah
ngumpet-ngumpet dari aku lagi karena sekarang aku bukan siapa-siapa kamu lagi.
Kita selesai sekarang!” Ujar Gara sangat marah.
Gara meninggalkan Deliana. Deliana masih terus
teriak-teriak memanggil Gara yang sudah pergi. Aku hanya diam mendengar mereka
berdua bertengkar, aku jadi gak enak. Aku merasa bersalah dengan semuanya.
Kenapa harus aku yang mendengar peristiwa itu, kenapa harus aku yang melihat
kejadian kemarin.
‘Kejadian kemarin. Peristiwa dikampus tadi. Aku melihatnya dengan mata
kepalaku sendiri. Kenapa harus aku? Aku jadi merasa bersalah, menjadi seperti
penghancur hubungan orang. Entah kenapa, aku sedih melihat Gara yang tersakiti
seperti itu. Ingin rasanya kuberikan pundakku untuk Gara..’
“Hei..” Sahut Gara tepat disampingku. Hampir saja Gara
melihat tulisanku dilaptopku. Untung aku segera klik minimize.
“Hei, kemana aja baru keliatan.” Ujarku basa-basi.
“Tentang masalah kemarin, masalah aku sama Deliana..”
“Ya? Kalian kenapa?”
“Aku udah mutusin Deliana, aku udah capek sama dia.” Ujar
Gara.
Aku hanya diam. Aku bingung, aku salah atau nggak. Aku
penghancur hubungan mereka atau nggak.
“Kok diam? Kenapa?” Sahut Gara.
“Aku bingung aja..”
“Bingung? Bingung kenapa?”
“Aku gak tau, aku takut. Karena aku, kalian jadi putus.”
“Karena kamu? Kamu lihat kan kemarin. Deli yang nyebabin
sendiri.”
“Iya tapi..”
“Cuma karena kejadian itu setelah kamu ngungkapin
perasaan kamu ke aku? Itu cuma kebetulan, yang bikin kamu jadi takut.” Ujar
Gara.
Hening..
“Kamu nggak usah takut. Ini semua bukan karena kamu.”
Ujar Gara lagi.
“Ya maaf ya sekali lagi..” Ujarku gugup.
“Yaudah, kamu nggak usah berfikir seperti itu lagi. Hmm..
Besok libur, aku mau ngajak kamu jalan-jalan ke taman, bagus deh. Kamu pasti
suka.”
“Ohya?”
“Iya.. Gimana kamu mau?
Ya tentu aja tidak aku tolak penawaran itu, berdua dengan
Gara. Aku gak nyangka, bisa jalan bareng dengan Gara.
“Yaudah aku pulang duluan, bye.” Ujarku.
19 Januari, Gara menjemputku. Tepat didepan rumah
tanteku, dia menantiku. Indah rasanya. Kami menuju ke taman, entah taman apa.
Tapi taman ini indah banget. Dengan cuaca yang sedikit mendung, padahal aku
udah berdoa banget agar hari ini jangan sampai hujan. Kami duduk di sebuah bangku
di tengah-tengah taman.
“Kikan.. Aku mau ngasih sesuatu buat kamu.” Ujar Gara.
Oh my God. Sesuatu apa? Dari Gara? Aku nggak percaya.
Lalu Gara mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Ya Tuhan! Apa itu. Itu.. Itu.. Itu
laptop aku, iya laptop aku. Ternyata kemarin laptop aku ketinggalan tepat
dihadapannya, dan masih dalam keadaan nyala. Aku sangat panik, sangat panik,
apa dia baca semuanya.
“Ini laptop kamu kemarin ketinggalan.” Ujar Gara.
“Kok.. Kok bisa?” Ujarku gugup.
“Manusia itu tidak luput dari sifat lupa, apalagi
ceroboh. Untung laptop kamu ada ditangan aku... Kenapa? Kamu malu sama semua
tulisan kamu. Mungkin, ini semua rencana Tuhan agar aku baca tulisan kamu.”
Ujar Gara.
“Ta.. Tapi..”
“Tulisan kamu semua bagus, ya karena objeknya juga bagus.
Semuanya tentang aku, aku suka banget. Dan aku juga suka banget sama
penulisnya.”
“Apa?” Ujarku sangat gugup dan kaget.
“Ternyata aku buta ya, kenapa aku lebih memilih yang
salah kalau dihadapan aku ada yang benar. Kamu yang ngerubah semuanya. Kamu
yang rubah aku untuk sadar. Dan aku sayang sama kamu. Aku mau kamu jadi pacar
aku.”
Ya Tuhan.. Gara nembak aku. Ini benar? Ini bukan mimpi
kan? Apa benar penantian aku selama 2 tahun ini akan berakhir seperti ini. Ini
indah banget.
“Gimana kamu mau jadi pacar aku?” Ujar Gara lagi.
Dan akupun mengangguk, nggak mungkin aku menolak
penawaran ini. Dan beberapa detik kemudian, hujanpun turun tiba-tiba. Entah ada
apa, kamipun langsung mencari tempat berteduh.
“Aku mau nulis tentang kejadian hari ini..” Ujarku ke
Gara. Dan kubuka laptopku.
‘19 Januari, akhir dari penantianku selama 2 tahun ini. Gara, selalu dia
yang kutulis. Sekarang dia udah membacanya. Dan hujanpun turun lagi, menjadi
saksi aku dan Gara bersatu. Hujan memang ngeledek. Kadang bisa membuat aku
galau, dan kadang membuatku bahagia. Jakarta, gak selamanya kejam. Dan Januari,
selalu jadi yang terawal..’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar