Pernah merasa bersalah? Aku sering, tapi yang ini beda.
Saat aku merasa tersakiti, akupun merasa mereka juga harus tersakiti. Entahlah,
dendamku yang ini memang sangat salah.
Di kantin kampus, aku melihat segrombolan cowok yang
salah satunya sedikit mencuri perhatianku. Dan aku menghampirinya, dengan
alasan ingin melihat wajah dia lebih dekat.
“Permisi.. Saya mau minta sausnya.” Ujarku, sambil
melirik ke arah lelaki itu.
“Silahkan..” Jawab salah seorang temannya.
Aku pergi, kembali ke kursiku. Sepertinya mereka
seniorku.
“Kenapa lo? Ada masalah sama mereka?” Ujar temanku, Maria.
“Gak ada, emang mereka siapa?”
“Kayanya diatas kita.” Ujar Maria.
Hening..
“Gue duluan ya, Mar.” Ujarku. Tanpa aku melihat
sekelilingku, seseorang pengendara motor hampir menabrakku. Sepertinya dia
mahasiswa yang baru keluar dari parkiran. Dibukanya helm itu. Ternyata dia
salah satu dari segrombolan cowok-cowok yang tadi aku perhatikan.
“Maaf.. kamu gapapa?” Tanya dia dengan sedikit kepanikan.
“Gapapa kak.” Jawabku lembut.
“Kamu sendirian?” Tanya dia lagi.
“Iya.”
“Kamu mau pulang? Aku anter ya?”
“Ngga usah ka, aku pulang sendiri. Lagipula aku gapapa,
cuma kaget aja tadi.”
Hening..
“Aku Orer. Siapa nama kamu?”
“Aku Flo.”
“Flo, aku mohon kamu jangan menolak penawaran aku yang
ini.”
“Aku gapapa kok.”
“Please..”
Orer, sedikit memaksa namun teguh pada pendiriannya.
Rapih dan wibawa. Dan akupun duduk dimotor Orer. Dia mengantarkan aku pulang.
Lama-kelamaan aku kenal dekat dengannya.
“Terima kasih ya, Rer.” Ujarku. Tepat didepan rumahku.
“Sama-sama. Besok aku jemput ya.”
“Untuk apa?”
“Nggak untuk apa-apa. Aku cuma mau jemput kamu aja.”
Hening..
“Aku masuk dulu ya, sekali lagi terima kasih.”
Selangkah demi selangkah aku masuk ke rumah. Perasaan
sedikit grogi, entah kenapa. Ada apa dengan lelaki itu, dia mencoba
mendekatiku. Aku melihat matanya. Apa dia menaruh rasa?
****
Keesokan paginya, tepat didepan rumahku dia menunggu,
Orer. Dengan posisi duduknya yang cool.
“Maaf nunggu lama ya?” Ujarku.
“Ngga kok, udah siap?”
“Siap..:)” Jawabku.
Dikampus. Orer berpaling arah dariku. Dia pergi menemui
teman-temannya yang ada di pojok sana. Dan aku melihat cowok itu, yang hampir
mencuri hatiku. Aku terpanggil oleh Orer.
“Flo.. Kemari.”
Dengan langkah perlahan aku menghampiri segrombolan
cowok-cowok itu. Dengan wajah sok lugu yang aku paparkan ke mereka.
“Guys, kenalin. Dia Flo, gue baru kenal kemarin.” Sahut
Orer.
“Hai..” Sahutku sok manis.
“Flo.. Ini Romy, ini Sendy, ini Rio dan yang ini Abi.”
Jadi cowok itu namanya Rio, aku tau namanya sekarang.
Hatiku semakin cetar membahana.
“Senang kenalan dengan kalian. Kayaknya aku kekelas dulu
ya. Permisi..”
“Flo..” Sahut Orer.
“Ya?”
“Hati-hati ya..”
Selangkah aku meninggalkan mereka, aku kira yang
menyahutku tadi adalah Rio. Tapi yasudahlah.
Kelas pertama sudah berakhir. Aku ke kantin dan mencari
Maria. Dimana dia? Akupun duduk sendiri disana. Dan aku kembali terpanggil.
“Flo.. Sini gabung sama kita.” Sahut Orer.
Aku menghampiri mereka, sedikit takut karena cowok semua.
Dan aku duduk diantara mereka. Aku mendengar cerita-cerita mereka yang seru.
“Gue besok praktek. Kayaknya bakal pulang sore nih.” Ujar
Sendy.
“Gue dong.. Tugas udah lunas semua.” Ujar Abi.
“Tugas udah gue kirim via email tapi katanya gak sampe, katanya
email dia rusak. Hah dasar Pak Hanes!” Ujar Rio.
“Gue dapet tugas nih dari Pak Yusuf, disuruh nyari
artikel tentang biografi salah satu penulis Indonesia, udah kayak anak SMP tau
gak.” Ujar Romy.
“Penulis ka? Aku tau beberapa penulis di Indonesia kok.”
Sambungku.
“Kira-kira siapa ya, soalnya bakal dipresentasiin nanti.
Gak jelas banget kan!” Jawab Romy.
“Coba aja Andrea Hirata, penulis buku Laskar Pelangi yang
sekarang bukunya udah Go International,
di Amerika buku Laskar Pelangi judulnya berubah jadi The Rainbow Troops. Keren loh.”
Jawabku.
“Oh ya? Gue gak tau kalo Laskar Pelangi go International.”
Aku terus memperhatikan mata sang Rio. Indah sekali. Dia
semakin mencuri hatiku, curang!
Saat aku menoleh ke Abi, ternyata dia sedang
memperhatikanku. Entah kenapa, matanya beda. Arti dari tatapan itu sedikit
menyimpan pertanyaan, sedikit sinis.
****
Siang hari aku masih dikampus, duduk ditepi-tepi taman
bersama Maria. Aku melihat Abi berjalan mengarahku.
“Flo, boleh gue ngomong sebentar?” Ujar Abi.
Aku melangkah mencari tempat yang nyaman, sambil
mengikuti langkah Abi. Banyak pertanyaan yang aku curigai. Ada apa sih dengan
cowok-cowok itu, aneh.
“Disini aja, mau ngomong apa?” Ujarku.
“Gue mau nanya, lo suka ya sama Rio?” Ceplos Abi.
“Kok lo nanya gitu?”
“Gue ngeliat mata lo, waktu lo merhatiin Rio.”
“Apaan sih, gue gak cuma merhatiin Rio doang kan. Gue
merhatiin semuanya, termasuk elo.”
“Tapi pandangan lo beda.”
“Hmm.. Gue kira ada yang serius. Pertanyaannya kurang
bermutu. Dan gue gak bisa jawab karena emang ga ada jawabannya.”
“Tapi..”
“Flo..” Teriak Orer dari kejauhan.
“Hey..” Jawabku.
“Pulang bareng yuk.” Ajak Orer.
“Oke..”
Kami meninggalkan Abi di taman. Aku sengaja langsung
menerima penawaran Orer karena aku ingin jauh dengan Abi.
“Flo, aku mau ngajak kamu makan.” Ujar Orer.
“Dimana?”
“Pokoknya kamu harus ikut, disana makanannya enaaakkk
banget.” Jawab Orer meyakinkanku.
“Okey..”
Kami menuju restoran yang Orer maksud. Lumayan besar dan
glamour. Sepertinya harga makanannya juga lumayan menguras kantong.
Kami duduk dikursi nomor 22. Dan Orer segera memanggil
sang waiter.
“Kamu mau pesan apa?” Tanya Orer.
“Beef steak sama jus jeruk aja.”
“Beef steak 1 sama chicken barbeque steak 1. Minumnya jus
jeruk 2 ya.” Ujar Orer.
Waiter itu pergi. Dan mulailah moment-moment yang sedikit
canggung. Kita saling ‘krik’ tak ada topik satupun keluar dari muluk kita. Dan
lama-kelamaan Orer pun memulainya.
“Aku boleh ngomong sesuatu sama kamu?” Ujar Orer.
“Boleh ngomong aja.” Ujarku.
“Sebelumnya aku minta maaf. Ini mungkin terlalu seperti
kilat, sangat singkat. Dan mungkin kamu belum bisa nerimanya.”
“Ada apa? Ngomong aja.”
“Aku suka sama kamu.”
Hening..
Aku benar-benar syok dengan kejujuran laki-laki yang ada
dihadapanku ini. Aku benar-benar kurang percaya. Kenapa harus dia, kenapa gak
Rio. Dan fikiranku mulai buyar.
“Aku mau kamu jadi pacar aku.” Ujar Orer lagi.
Apa pacar? Aku jadi pacar Orer, Orer sahabatnya Rio. Dan
aku akan setiap hari bertemu Rio.
“Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku mau kamu. Aku butuh
jawaban kamu sekarang.” Ujar Orer lagi.
Hah.. Orer. Lelaki yang rapih dan berwibawa ini memang
sangat teguh pendiriannya dan sedikit memaksa. Apa aku harus menolaknya, hanya
untuk Rio? Sedangkan kesempatan aku untuk bersama Rio seperti sehelai rambut
yang terbelah 7, sangat tipis. Lagipula Orer baik, dia perhatian sama aku, dan
dia bisa menjaga aku.
“Flo?” Sahut Orer.
“Ya..”
“Gimana?” Tanya Orer.
“Oke..”
“Oke?”
“Hmm.. Maksud aku. Iya aku mau jadi pacar kamu.” Jawabku
gelisah.
“Kamu serius?” Tanya Orer.
“Ya.. Aku serius.”
“Jadi kita pacaran.” Ujar Orer.
“Yaps.. Kita resmi.” Ujarku.
“Makasih ya Flo. Aku sayang banget sama kamu.” Ujar Orer
sambil mencium-cium tanganku.
Tidak lama waiter itu datang membawa pesanan kami. Dan akupun
resmi menjadi pacarnya Orer. Seperti mimpi, tapi yasudahlah aku yakin bisa
menjalani semuanya dengan tenang.
****
Dikampus dengan bangganya Orer memperlihatkan kemesraan
kami. Dia menarikku ke teman-temannya yang sedang ngumpul itu.
“Hay guys.. Gue punya kabar.” Ujar Orer.
“Kabar apa?” Tanya Sendy.
“Gue baru jadian sama Flo.” Ujar Orer sambil merangkulku.
“Oh ya? Wiihh, terus kita dapet traktiran gak nih, kalo
nggak ya nggak langgeng.” Sambung Romy.
“Iye gue traktir, sepuasnyaaa.” Jawab Orer.
“Selamat ya selamat..” Ujar Rio dengan bahagianya dia
memberikan jabatan tangannya.
Kenapa gak ada rasa kecewa sedikit aja dari Rio. Malah
dia yang pertama yang memberikan selamat untuk kami. Sedangkan Abi hanya
memperhatikanku sinis, kenapa dia sebenarnya. Apa aku menyakiti persahabatan
mereka?
Semenjak aku dan Orer menjalin kasih, hari-hariku pun
selalu diisi bersama Orer. Aku memang nyaman dengannya, namun kenapa perasaan
aku ini masih saja tak seutuhnya untuk Orer. Masih saja terbagi untuk sahabatnya
yang satu itu.
Aku dan Maria jadi sering ngumpul bersama mereka. Dan
sekarang Maria pacaran dengan Romy, kami semakin akrab. Dan aku semakin
merasakan cinta yang dalam untuk Rio. Aku tahu aku sangat salah dengan pilihan
ini. Tapi aku capek, terus selalu menjadi yang tersakiti. Aku ingin menyakiti
mereka, sekali saja.
Gak terasa sudah 5 bulan aku menjalin kasih dengan Orer.
Dan akupun juga semakin tahu sifat-sifat Rio. Ternyata Rio itu jahil, selalu
membuat aku tertawa dengan kelakuannya. Aku suka cowok yang humoris, seperti
Rio. Tapi aku terikat sekarang, dengan Orer.
****
Dilorong kampus aku berjalan sendirian, seperti ada yang
mengikutiku dari belakang. Saat aku menoleh kebelakang, ternyata itu Abi.
“Gue mau ngomong.” Ujarnya.
“Ngomong apa?”
“Apa lo lagi mainin sahabat gue?” Tanya Abi.
“Mainin gimana?”
“Punya alasan apa lo bisa pacaran sama Orer?” Tanya Abi
sinis.
Hening..
“Alasan? Hmm.. Ya seperti alasan-alasan orang pacaran
lainnya.” Ujarku.
“Contohnya?”
“Ya.. Gue sayang sama Orer, dia baik, dia perhatian sama
gue, dan blablabla. Masih banyak lagi. Abi? Lo kenapa? Kenapa rasa kurang yakin
lo itu selalu gak jelas.” Ujarku.
“Ini bukan gak jelas, gue bisa baca mata lo. Gue
berpengalaman masalah cewek.”
“Oh jadi cita-cita lo jadi mentalist, tapi kenapa ngambil
fakultas design?” Ujarku.
“Bukan saatnya untuk bercanda.”
“Abi! Menurut gue pertanyaan lo ini terlalu humor.”
Hening..
“Flo, lo pacaran sama Orer. Tapi lo suka sama Rio. Gue
liat itu semua. Lo gak bisa bohongin gue.” Ujar Abi.
“Bi, gue mohon lo ngertiin gue. Oke gue emang suka sama
Rio, tapi gue harus apa? Gue sekarang terikat, terikat sama sahabatnya Rio. Gue
bisa ngancurin persahabatan mereka, persahabatan kalian, Bi.” Jawabku.
“Tapi lo gak bisa nyakitin Orer.”
“Gue gak nyakitin Orer, gue cuma butuh belajar, belajar
mencintai Orer seutuhnya!”
“Oke.. Gue cuma minta tolong banget sama lo. Jangan
egois, dan jangan ngancurin persahabatan kami.” Ujar Abi.
Abi pergi meninggalkanku, setetes air mata jatuh kepipi.
Apa aku salah, ya aku memang salah. Tapi aku harus apa? Hanya begini-gini saja,
flat. Apa aku harus mengakhiri, tapi
aku takut. Aku butuh Orer, dia bisa menjagaku.
****
Dikampus aku sendiri, tidak bertemu dengan Orer. Entah
dimana dia. Aku melihat Rio, sendirian. Kuhampiri dia.
“Yo?” Sahutku.
“Hey, Flo. Sini duduk, ada apa?” Ujar Rio.
Tolong jangan tawarkan aku duduk disampingmu, Yo. Aku
takut. Takut perasaan ini semakin parah.
“Yo, kamu lagi ngapain?” Tanyaku.
“Lagi baca bukunya Stephen King.”
“Kamu suka baca buku ya?”
“Ya, lumayan.” Jawab Rio.
“Kebetulan aku juga.”
“Oh ya? Wow. Oh iya, ada apa Flo? Orer mana?” Tanya Rio.
“Nggak tau. Yo, aku mau ngomong sama kamu.”
“Silahkan, ngomong apa?”
“Aku udah salah, aku udah bodoh. Entah apa yang ada
difikiran aku, aku terlalu egois sama semua pilihan aku.”
“Maksud kamu apa? Kita lagi ngomongin apa?”
“Perasaan. Aku sayang sama kamu, sebelum aku sayang sama
Orer.”
Hening..
“Kamu ngomong apa sih? Bercanda mulu nih..”
“Buat sekarang, buat detik ini, aku lagi bener-bener gak
bercanda, serius.” Ujarku dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ini emang bodoh banget, aku kira dengan pacaran sama
Orer, aku bisa ngelupain kamu. Tapi ini kurangajar banget, aku malah semakin
sayang sama kamu.” Ujarku dengan beberapa tetesan airmata yang jatuh.
“Tapi kenapa?”
“Aku gak punya jawaban untuk itu. Aku juga gak tau kenapa
harus kamu, kenapa gak Orer, biar aku bisa mencintai Orer seutuhnya. Aku salah,
aku bodoh!” Lanjutku.
Hening. Rio mengelus bahuku dengan keadaan yang
membingungkan. Sedangkan aku hanya bisa menangis.
“Maaf, seharusnya kamu mencari yang bisa membahagiakan
kamu. Yang selalu bisa sama kamu. Aku gak selamanya disini, kamu ga selamanya
bisa melihat aku disini.” Ujar Rio.
“Maksud kamu?”
“Aku lagi mengurus surat pindahan, aku akan pindah ke
Jogja, dan kuliah disana.”
“Tapi kenapa?” Tanyaku gelisah.
“Ya karena aku memang sementara di Jakarta.”
Hening..
“Tapi kamu pernah denger kan tentang hubungan jarak
jauh.” Ujarku.
“LDR? Itu emang hubungan yang sulit untuk dijalanin,
banyak lika-liku, banyak cobaan, banyak tantangan, dan masih banyak lagi. Tapi
cuma satu yang bisa membuat hubungan itu langgeng, kesetiaan. Dan aku sekarang
yakin untuk menjalankan LDR itu, kalau LDR gak selamanya berakhir putus, tapi
nyatanya aku malah kembali, kembali ke Jogja.” Ujar Rio.
Aku bingung apa yang sedang Rio bicarakan, sedikit sulit
untuk dipahami, apa aku memang sudah benar-benar bodoh.
“Maksud kamu?” Tanyaku.
Rio mengeluarkan dompetnya, entah ada apa, padahal aku
tidak meminta uang sepersenpun, aku hanya meminta cinta dan kasih sayang.
“Lihat, wanita di foto ini namanya Ajeng. Aku sudah 2
tahun menjalankan hubungan jarak jauh dengan dia, dan sampai saatnya tiba aku
kembali lagi untuk dia. Bukannya aku gak mau LDR sama kamu, tapi aku sudah
terikat. Dan aku bersabar untuk memutuskan berakhirnya LDR ini menjadi hubungan
yang normal. Aku minta maaf..” Ujar Rio.
Apa? Rio sudah punya pacar, dan aku terabaikan. Bertepuk
sebelah tangan? Tak terbalas? Sempurna sekali! Dan aku? Entah apa yang harus
aku curahkan lagi dengan kesedihanku ini, aku harus ngomong apa sama Orer.
****
Dikamar. Seharian aku gak dapet kabar dari Orer, entah
ada apa. Saat aku terbaring santai di ranjangku, handphoneku pun berdering.
Kulihat, ternyata itu Orer.
“Halo?” Sahutku.
“Bisa kita ketemu?”
Ujar Orer.
Aku menghampiri Orer di suatu tempat yang sejuk dan
lumayan sepi. Aku melihatnya, dia berdiri tegap berwibawa menungguku.
“Hey..” Sahutku.
“Hey..” Jawab Orer.
“Ada apa?”
“Kamu gapapa kan?” Tanya Orer.
“Gapapa, emang aku terlihat sakit?”
Hening..
“Kamu kenapa?” Tanyaku.
“Entah.. Ada yang janggal.” Ujar Orer.
“Cerita sama aku!”
“Sulit, karena ini tentang kamu.”
“Aku mohon, jangan kamu simpan sendiri.”
“Kamu yakin mau dengar?” Tanya Orer.
“Ya..”
Hening..
“Tentang hubungan kita..”
“Okey.. Kenapa?” Tanyaku.
“Sudah lumayan lama, aku rasa sudah mulai ketahuan apa
rahasia-rahasia kita.”
“Hmm.. Ohya? Terus?”
“Aku rasa karena rahasia itu, kita mulai nggak cocok.”
Ujar Orer.
Hening.. Hatiku mulai
suram mendengar kata ‘tidak cocok’ itu.
“Rahasia yang mana maksud kamu?”
“Rahasia perasaan kamu. Aku bukannya gak ada saat itu,
aku dengar semuanya. Dengar obrolan kamu sama Abi, maaf.” Ujar Orer.
“Orer.. Aku yakin kamu denger sampai selesai. Dan kamu
bisa cerna semuanya? Iyakan, kamu gak bodoh.” Ujarku menangis.
“Ya, dan kamu menjawab semuanya.”
“Orer.. Aku tuh..”
“Maaf aku harus ngelepas kamu.” Ujar Orer.
Hening.. Perasaanku semakin hancur, aku menangis didepan
Orer, apa aku harus kehilangan Orer, aku sudah kehilangan Rio dan sekarang aku
kehilangan Orer, sempurna sekali.
“Orer..?” Sahutku.
“Aku sayang sama kamu tapi aku minta maaf. Aku juga harus
egois. Tolong, izinin aku untuk mencintai seseorang yang mencintai aku
seutuhnya.”
“Gak ada! Gak ada yang seutuhnya mencintai kamu, pasti
semua wanita membaginya untuk ayahnya, atau saudara laki-lakinya.” Ujarku.
“Tapi tidak untuk laki-laki lain.” Balas Orer.
Hening..
“Orer aku mohon.. Kamu gak boleh bertingkah bodoh seperti
ini. Aku sayang sama kamu.”
“Kamu sayang sama Rio.”
“Rio? Itu udah berlalu, kamu lihat aku udah diabaikan
sama Rio. Aku sakit sekarang, sakit hati. Aku butuh obat, aku butuh kamu. Cuma
kamu yang bisa nyembuhin rasa sakit aku sekarang.”
Hening.. Aku melihat matanya Orer yang berkaca-kaca. Dan
akupun masih terus mengeluarkan air mata ini.
“Aku yakin, diluar sana ada obat yang ampuh untuk
nyembuhin ego kamu.”
Hening..
“Kamu sayang sama aku, seharusnya kamu bersusah payah
untuk membuat aku cinta sama kamu seutuhnya. Cinta itu butuh perjuangan!”
Ujarku.
“Tapi tidak untuk dipaksa. Sekali lagi aku minta maaf.”
Ujar Orer dan mencium keningku.
Orer melangkah meninggalkanku.
“Orer..” Sahutku.
Orer hanya menghentikan langkahnya, namun tak sedikitpun
menoleh ke belakang. Dan aku hanya terus menangis. Aku tidak percaya semuanya
terjadi, semua berakhir seperti ini.
****
Minggu pagi. Aku duduk disebuah pantai yang indah.
Melihat anak-anak kecil yang sedang asik lari-larian di air, melihat mereka
yang sebentar lagi akan berhasil mendirikan istana pasir, melihat beberapa
pasangan yang asik menikmati sejuknya hembusan angin pantai. Aku duduk diatas
jutaan pasir yang lembut dengan beberapa karang disekitarnya. Dan ombak yang
ingin menyentuhku namun tak kena jua.
Menunggu akan apa yang terjadi selanjutnya.
“Hmm..” Suara laki-laki.
Aku mengenal suaranya. Aku yakin itu hanya perasaan
semata.
“Penunggu pantai disini gak akan nyulik kamu sampai ke
dasar laut.” Ujar suara itu.
Aku menoleh, ternyata itu Orer. Aku tidak percaya dia
disampingku. Hatiku sedikit berbunga-bunga, ribuan pertanyaan menghampiri
fikiranku.
“Kenapa gak kamu aja yang menjemput penunggu pantai
sampai kesini.” Ujar Orer.
“Orer? Kamu ngapain disini?” Tanyaku.
“Mencari seseorang yang sedang duduk sendirian.”
“Banyak yang duduk sendirian dipantai ini, kenapa harus
aku?”
“Entahlah, angin yang mendorongku untuk kesini.” Ujar
Orer.
Hening..
“Sehari tanpa kamu itu ternyata kefikiran ya..” Ujar
Orer.
“Maksud kamu?”
“24 jam aku mencari wanita yang mencintai aku seutuhnya,
ternyata kamu benar, gak ada wanita yang mencintai aku seutuhnya, cinta mereka
dibagi untuk ayahnya dan saudara laki-laki lainnya.” Ujar Orer.
“Kamu kesini untuk aku?” Tanyaku.
“Manusia itu gudangnya kekhilafan. Aku belajar agama.
Tuhan selalu memberikan kesempatan untuk hambanya yang khilaf. Pernah inget
berapa kali kita khilaf, ribuan kali. Dan Tuhan masih memberikan kesempatan
untuk kita. Aku belajar dari itu semua, untuk memberikan kamu kesempatan. Dan
akupun masih butuh kamu, kita masing-masing masih saling membutuhkan. Dan aku
yakin, kamu masih butuh aku untuk menjadi obat hati kamu.”
“Sebelumnya aku harus minta resep dokter dulu untuk beli
obat.” Jawabku senyum.
Orer menggenggam tanganku, dia menaruh tanganku
dihatinya, tepat dihatinya. Aku merasakan cinta kembali.
“Resep obat kamu ada dihati aku, tinggal kamu pelajari.
Karena resepnya sedikit sulit.” Ujar Orer tersenyum.
Kitapun kembali seperti biasa, kembali merajut cinta.
Memang benar, mempelajari cinta itu sedikit sulit, harus benar-benar ada resep
yang ampuh untuk merasakan cinta. Aku benar-benar harus belajar untuk
mencintain Orer seutuhnya. Harus! Karena untuk apa memilih seseorang yang mengabaikan
kita kalau ternyata didekat kita ada seseorang yang dengan hati
mengkonfirmasikan cinta kita.