JIWAMU, AYAH
Lembaran-lembaran
hidup itu
Keringatmu..
Jiwamu
terus terombang-ambing dunia petaka luar
Langkahmu
menuju niat kehidupan
Hatimu
kuat..
Ajarkan
aku menghadapi dunia petaka luar
Ajarkan
aku menghadapi lelahnya langkah aspal
yang
membakar telapak kakimu
Tangerang,
11 Oktober 2013
_________________________________________________________________________________
TEPIAN SUNGAI
Riakan
air yang kudengar
Menemaniku
tepat di tepi sungai
Cermin
wajahku di sungai
Kupandangi
sekejap
Kuratapi
dunia
Transparan
air yang memantulkan arti
Kulihat
negeriku dengan keprihatinan
Kutimpukkan
batu-batu kecil agar gelombang
Agar
hancur..
Duniaku..
negeriku..
Air
dan api
Bagai
gelombang air yang ribut
Api
yang menelan ribuan kampung
Negeriku
yang selalu menyakiti
Duniaku
yang selalu tersakiti
Aku
melihat ribuan spanduk terpampang
Mengganggu
jalan
Foto-foto
mereka yang tersenyum menjengkelkan
Dilapiskan
coretan-coretan karya anak bangsa
Aku
tertawa..
Apa
yang kau pinta dari setiap senyuman yang menggangu jalan.. tuan
Tujuan
apa masyarakat yang melintas dan melihat senyummu.. tuan
Wajahku
hancur di genangan sungai ini
Memikirkan
pejabat-pejabat yang tak pernah kutemui
Bahkan
tak harus kupikirkan
Mereka
yang berlomba-lomba membuang uang rakyatnya
Hanya
untuk bahan kampanye
Hidup
mereka sudah bahagia di dunia
Bahkan
mereka lebih bodoh dariku
Tangerang, 12
Desember 2013
_________________________________________________________________________________
HUJAN
Mereka
mencari singgah teduh
Termasuk
aku
Tanpa
permisi kau jatuh begitu saja
Hujan..
aksimu menakutiku
Bersama
petir yang berdentam-dentam
Bagai
perang dunia yang tak kunjung reda
Dalam
benakku kau tahu?
Aku
ingin menerkam keras dirimu
Namun
tak selangkah pun kusanggup
Dan
nasibku menikmati racau dari orang sekitar
Bahkan
jahar dari masjid pun tak terdengar
Seharusnya
senja yang datang
Kau
menikungnya
Kau
melihatku seperti apa?
Manusia
payah yang bersembunyi darimu?
Sadarlah
rakyatmu tak satu
Kau
terlalu padan
Hujan..
Kuperhatikan
kau dengan suara-suara gadruhmu
Meninggalkan
basah pada jalan itu
Cepatlah
reda
Dan
kembali setelah kupergi
Serang, 08
Januari 2014
_________________________________________________________________________________
PUNGGUNGMU
Di
persimpangan jalan itu
Kau
berjalan mengumpatkan tangan pada kantung celanamu
Punggungmu
tersenyum padaku
Sedikit-dikit
kau menoleh ke samping
Tak
pernah menoleh ke belakang
Punggungmu
masih terus tersenyum padaku
Lihatlah
ke belakang
Ada
cinta di belakangmu
Ada
rusuk yang menunggu punggungmu
Punggungmu
berteriak
Rusukku
menangis
Aku
tak ingin terburu-buru pulang
Tengoklah
sebentar
Ada
cinta di belakangmu
Tangerang,
22 Maret 2014
_________________________________________________________________________________
UNTUKMU ULIL
AMRI DUNIA
Sesat..
bagaimana aku harus menemukan
Tersesat
dalam pikiran yang tak layak kupikirkan
Bagaimana..
Dimana..
Otakku
terbunuh
Mencoba
melangkahi aspal demi aspal
Tanpa
alas kaki
Yang
kian semakin panas
Mencari
keadilan dunia
Matahari
melepuhkan langkahku
Melangkah..
berjalan.. berlari..
Kemana
mereka semua?
Aku
manusia tercipta untuk penuh hormat pada Ulil Amri
Ulil
Amri sang Maha Agung
Bagaimana
bisa aku berhenti menghormatimu
Berhenti
menjulurkan sebelah tanganku setiap saat
Menopang
receh dari lemparan mereka
Tolonglah
aku
Dimana
mereka?
Tangerang,
09 April 2014
_________________________________________________________________________________
INI JIWA KAMI
Ini jiwa kami..
Tak akan lemah dengan bodohmu
Tak akan lelah mengusikmu
Tak akan kalah dengan guyonmu
Ini jiwa kami..
Tak akan selesai
Tak akan berhenti
Tak akan diam sampai di sini
Ini jiwa kami..
Bergerak.. berontak..
Menggebrak.. berteriak..
Kemudian memarak
Kami adalah rakyatmu
Beri kami nikmat
Kami bukan mayatmu
Yang telah kau siasat
Ini jiwa kami..
Selalu berdiri di sini
Berani menghakimi
Untuk menyamankan hak kami
Serang, 10 Mei 2014
_________________________________________________________________________________
KAKTUS
Boleh
kau duduk saja
Mentang-mentang
kami hanya mahasiswa
Kau
pikir kami bunga
Dengan
indah berdiri dalam potnya
Dengan
pupuk yang seadanya
Dan
sedikit siraman air seperti biasanya
Boleh
kau abaikan aksara demi aksara kami
Asal
kau jadikan kami dari setangkai bunga hingga sekokoh Old Tjikko
Asal
kau beri kami pupuk sebanyak air yang berada dalam sungai Aru
Nyatanya
kau jadikan kami kaktus
Sedikitpun
tak mendekat akan takut duri kami
Hanya
mengandalkan setetes air dari hujan
Karena
kau tahu, kaktus tak butuh air seluas sungai
Amazon
Coba
kau mendekat sedikit kepada kami
Mahasiswa
yang kau anggap kaktus
Jangan
hanya mandi uang saja
Mandikan
kami juga, Tuan
Kami
tak akan menusukmu dengan duri kami
Asal
kau hati-hati
Kami bisa menghasilkan
seputik bunga yang indah
Lebih
indah dari Eidelweis yang orang-orang dambakan
Jika
kau ingin, Tuan
Serang, 14 Mei 2014
_________________________________________________________________________________
JARAK
Aku
melihat bintang yang kau lihat juga
Ia
memberi pesan kau sedang menatapnya
Berkelap-kelip
sangat malu kita pandang
Cahaya
meronamu masih sama terpancar bintang itu
Tak
sedikitpun terubah
Jarak
tidak pernah menertawai kita
Jangan..
jangan salahkan jarak yang fana
Kasihan
ia..
Tak
tahu apa-apa
Selalu
tersalahkan
Ketika
sejoli merasakan rindunya
Aku
sendiri di sini merindukanmu..
Aku
di sini denganmu..
Selalu
denganmu..
Dan
mencintaimu..
Serang, 28
Juni 2014
_________________________________________________________________________________
KOPI DAN SENJA
Aku
berdiri di tepi danau
Ditemani
burung yang ramai berkicau
Sambil
kududuki rumput
Dengan
kopi yang kusruput
Langit
mulai memancarkan warna
Kini
aku merasakan datangnya senja
Dan
matahari yang tinggal setengah
Serta
kopiku yang hampir punah
Kini
kopiku mulai dingin
Karena
kencangnya haluan angin
Aku
mulai berdiri
Dan
memberi salam “sampai jumpa” pada matahari
Tangerang, 15 Maret 2014
_________________________________________________________________________________
NOSTALGIA PERANTAU
Bilamana
dulu terbangun
Ibu
yang terlihat anggun
Berseri
memberi isyarat sinar t’lah datang menegun
Terdiam
sejenak.. teriakan itu hadir lagi
Telunjuknya
mengarah jarum jam enam pagi
Aku
harus mandi
Mataku
masih berbasa basi
Tak
disangka nostalgia pagi ini datang lagi
Hujan
turun sore ini
Biasanya,
kopi menjadi orang ketiga antara cintaku dengan Bapak
Sekarang
aku bercinta sendiri dengan kopi
Panas
terik siangku
Kubukakan
pintu gerbang untuk Bapak
Namun
sekarang tak pernah lagi
Aku
ditertawakan oleh jarak
Seberapa
kuat aku mendagi jarak
Ah..
nostalgia mulai mengarak
Dulu..
telenovela kalah dengan siaran sepakbola
Kini
aku tak harus berebut remot tv dengan Bapak
Dulu..
Ibu sering mengancam agar aku makan
Sekarang
aku sering terkena magh
Ada
yang salah dengan langitnya?
Anginnya?
Atau
bulatan cakrawalanya?
Mengapa
tak sama dengan rumah?
Si
perantau bernostalgia lagi
Jarak
mulai menertawakannya kembali
Aku
terus mendagi
Seberapa
kuat melawan cobaan jarak ini
Serang, 22
November 2014
_________________________________________________________________________________
SENYAWA BIRU
Ada
hati yang bersatu padu
Dibawah
langit berwarna biru
Makhluk
senyawa yang bersangkut paut
Sulit
terpisah, walau berbeda dengan perbandingan tertentu
Akulah
si senyawa biru
Menanti
prajuritku
Bertukar
darah di medan perang itu
Langit
masih saja biru
Tak
ada senja atau kelabu
Para
pesuruh ayah datang menjemput
Mereka
takut senyawa birunya hilang
Atau
ikut pula beradu tulang
Akulah
si senyawa biru
Menanti
prajuritku
Di
bawah langit biru
Sendiri
termenung
Tak
ada kabar burung sekalipun
Tangerang, 04 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
DOA DI ATAS AWAN
Sujud
teristimewaku
Tak
lagi awan di atasku
Rukuk
terindahku
Yang
tertinggi di tanah negeri
Tahiyad
terbaikku
Di
atas puncak Mahameru
Kunut
subuhku
Saksi
khusyukku pada Tuhan
Ribuan
do’a berucap keluar berdorongan
Limpahan
Sa’adah di atas awan
Tak
sadar aku dan Tuhan berhadapan
Berbisik
seribu kata
Kepada
angin yang menusuk tulang
Kepada
langit yang mulai oranye
Kepada
embun yang mulai mencair
Ini
do’a tertinggiku
Tangerang, 06 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
BUNGA ITU..
Desir
ombak setelah topan
Kau
di bawah pohon kelapa
Tak
meninggalkan cerita
Menunggu
sekuntum bunga
Tak
tahu kapan mekarnya
Kau
pandang langit abu
Terlihat
badai yang lalu
Masih
menakutimu
Terendam
di hatiku
Bunga
itu..
Pernah
mekar di masa lalu
Tak
setelah ombak mengguyur pilu
Cahaya
ayu terdorong malu
Tertimpuk
dengan batu
Kini
menjadi apu-apu
Bunga
itu..
Tak
indah lagi
Tak
bedanya ari
Tertimbun
aib
Teringat
mati
Bunga
itu..
Membunuh
diri dalam lautan sunyi
Menitipkan
pesan pada merpati
Tangerang, 07 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
SAJADAH TANAH MAKKAH
Aku
membentangkan sajadah merah
Di
atas tanah termewah
Tak
ada aba-aba
Setetes
air meninggalkan matanya
Hangat
terpeluk Hawa
Sang
Adam menunggu di sebelahnya
Dua
tetes air mata jatuh di tanah Syurga
Matakku
memantulkan cahaya sang Makkah
Berhimpun
malu dengan dosa
Bersyukur
hati pada berkah
Tangerang, 09 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
KALEIDOSKOP HITAM
Aku
menulis sebuah surat cinta
Yang
ku kirim hanya untuk dia
Isinya
tentang setahun yang usai
Sebenarnya
masih bersambung
Ia
tak berkenan meneruskan
Surat
cintaku tak terkirim jua
Aku
mulai merasakan kegaduhan rindu
Malam
tak kunjung berganti subuh
Surat
cintaku tak kunjung terkirim
Malam
ini aku disajikan peristiwa
yang
telah terjadi secara singkat
Di
bawah langit hitam
Di
atas genting rumahnya
Ia
tak kunjung datang
Tak
akan kembali lagi
Gempur
hati tak cepat berhenti
Mulutku
mulai merinai
Merinaikan
dirinya yang tertidur pulas
Ayam
mulai berkokok
Akupun
menyadarinya
Surat
cinta ini tak akan terkirim
Selesai
sampai di sini
Karena
aku yang tak akan kembali
Tangerang, 10 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
REMBULAN SINGGAH
Malam
tak lagi larut
Dini
mulai datang
Jalan
yang menerkam maut
Kulihat
pemabuk bodoh yang malang
Sebentar
lagi subuh datang
Akan
masih seperti biasanya
Akan
masih dengan busana compang
Berhadapan
dengan kaleng berisi uang
Rembulan..
jangan terburu-buru kau singgah
Aku
masih ingin menikmati Jakarta malam
Rembulan..
jangan terburu-buru kau singgah
Padahal
tikus berdasi itupun tak membayarmu
Rembulan..
jangan terburu-buru kau singgah
Biarkan
mentari itu istirahat sehari lagi
Rembulan..
jangan terburu-buru kau singgah
Izinkan
sehari saja tak melihat roda empat lalu lalang di mataku
Racauan
masjid mulai terdengar
Langit
oranye hampir terlihat
Ah..
rembulan..
Mengapa
kau terburu-buru singgah
Tangerang, 10 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
HILANGNYA SANG SAJAK
Kita
sempat bertukar aksara
Berkomunikasi
sedikit banyaknya mewakili ujaran
Tanpa
muluk kita saling mengerti
Tentang
fonemis, fonetis, sekalipun morfenis
Berpindah
hari
Memulai
bersajak bersama
Kau
pernah ingin menjadi Katalina
Agar
dapat mendarat di air dan bersayap tinggi
Kau
hanya ingin aku menjadi Bendari
Agar
selalu hadir di Katalinamu
Kini
sajakku tak sempurna
Awarimaku
sendiri tak punya teman
Kau
pemberi sajak terakhir dalam nisan itu
Aku
tak bisa menemukan sajak selanjutnya
Kini
aku hanya ingin menjadi Katalisator
Agar
bisa mempercepat peristiwa
Agar
cepat menemukan sang sajak yang tiada
Tangerang, 13 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
MATAHARI TAK PADAM
Aku
tak hilang, tetap bersamamu
Tak
ingin membunuhmu
Jangan
mencariku
Bulan..
jagalah ia dulu
Tutuplah
cepat matamu
Aku
akan kembali di sampingmu
Jangan
menungguku
Aku
tak padam di hatimu
Jangan
singkirkan aku
Apa
kau akan mati di hadapanku?
Bulan..
jagalah ia dulu
Bilang
padanya aku tak padam
Hanya tak bisa dalam temaram
Ini
kutukan alam
Tak
bisa kembali malam
Akan
datang dalam pagimu yang tenteram
Tangerang, 14 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
WARNA-WARNI
Seluas
warna biru mengguyur lautan
Aku
bermimpi sang jutawan
Tekad
menggebu semerah api
Menggores
hidup dalam kertas putih
Memulainya
di bawah langit kuning dan oranye
Berlari
ceria di atas rumput hijau yang basah
Bersama
sepatu abu-abuku
Tersandung
batu hitam serta berdarah
Tertolong
pujangga hati sang pelangi
Senyum
bibir merah mudanya
Tak
terlewatkan kuajak bergandeng
Ransel
ungunya yang menawan
Sejajar
dengan ransel nilaku yang jantan
Terhenti
di bawah langit jingga
Tangerang, 15 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
SETAHUN BERKISAH
Dulu
aku benci pelangi
Datang
dan pergi begitu saja
Dulu
kau seperti bulan dan matahari
Hadir
di malam dan siangku
Kisah
kita tak terlalu lama
Berlalu
tak sampai sewindu
Berhenti
tanpa kau tahu apa yang terjadi
Dulu
kita hidup di awan yang sama
Menghembus
udara yang sama
Menginjak
tanah yang sama
Setahun
berkisah..
Kau
hilang tanpa meninggalkan arah
Tanpa
secarik kertas berisi kau akan kembali
Tak
berkenan mengisi cerita lagi
Aku
kehilangan matahari dan bulanku
Aku
menginginkan pelangi sebentar saja
Atau
satu bintangpun cukup untukku
Tangerang, 17 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
YAUM YOGYAKARTA
Lihatlah,
aku pulang
Menginjak
tanah kelahiran
Bersorak
seperti mereka
Di
tengah keramaian Pawai Budaya
Apa
kabar tujuh Oktober?
Aku
rindu Pisowanan
Sinar
lampion serta umbul-umbul mengalahkan bulan
Aku
rindu jalan Brigjen Katamso
Bersama
panggung rakyat Yogyakarta
Jam
berbunyi lantang
Kubuka
mata, kulihat dinding-dinding Las Vegas
Kubuka
jendela
Hei..
dimana lampionnya?
Aku
ingin berteriak bersama Pawai Budaya
Menyipitkan
mata
Tak
terlihat sama sekali
Hei..
bukankah ini tujuh Oktober?
Bagaimana
Pisowanan di keraton?
Nostalgia
sang perantau..
Aku
bernostalgia kembali
Aku
di sini..
Bersama
negeri yang jauh dari Yogyakarta
Sering
kali kucicip kopi susu Las Vegas
Tetap
nikmat kopi tubruk Ibu
Tidurlah..
Aku
tak bisa berdiam diri saja
Sendiri
menikmati tujuh Oktober?
Yang
benar saja..
Kupejamkan
sekali lagi
Tangerang, 04 April 2015
_________________________________________________________________________________
POLIANTHES TUBEROSA
Selalu
hadir di malam hari
Mendengar
racauan pria berkantung tebal
Harummu
semerbak
Tak
kuasa mereka menahan
Tak
pedulikan pedihmu
Terus
merabak pakaianmu
Kemudian,
impianmu bersama gabai-gabai tercapai
Lihainya
icak-icak wajah bahagia
Bersama
belang satu dan sebelumnya
Tak
akan pergi selain malam
Mereka
bilang kau tak akan mekar
Kau
iri kepada Rosa Canina
Tak
pernah tersakiti
Indah
pagi hingga malam
Pemanis
hiasan hidup setiap orang
Padahal
ianya berduri tajam
Polianthes
Tuberosa..
Tak
bisakah kau melihat Mirabilis Jalapa saja
Hanya
mekar dalam ba’da Ashar
Kemana
saja ia?
Hanya
menjadi babu fotonasti
Dunia
tak pernah adil, katamu
Polianthes
Tuberosa..
Tak
butuh matahari tuk indah
Diam
saja di rumah
Akan
tetap harum
Tak
usah kembali kepada para si kantung tebal
Tetaplah
di rumah
Biarlah
kau menjadi pemanis hiasan rumah
Percaya,
waad Tuhan tak akan ingkar
Bunga
mana pun akan tetap layu jua
Tangerang, 05 April 2015
_________________________________________________________________________________
BULAN
GENDUT TLAH MENJADI SABIT
Bulan gendut tlah menjadi sabit
Enyah termakan sakit
Sebab rindu oleh sang bait
Akibat hati yang sangat pahit
Bulan gendut tlah menjadi sabit
Kapan ia akan hilang?
Berhenti menyakiti yang datang
Lalu terkubur bersama ilalang
Bulan gendut tlah menjadi sabit
Tidak lagi sang purnama
Tidak lagi menunggunya
Sebab ia yang melepaskannya
Bulan gendut tlah menjadi sabit
Menikmati karma
Melihatnya bahagia
Bersama matahari sang surya
Tangerang, 01 Juli 2015
_________________________________________________________________________________
RABUN RIAU
Pada
televisi di sore itu
Pria
berkacamata memberitakan
Dengan
cuplikan suatu foto
Namun
mengapa buram?
Ada
apa pula dengan bayi dalam televisi itu?
Rabun
Riau mulai mengantal
Merabuni
sejumlah makhluk yang tak berdosa
Kemana
mereka?
Perabun
pengecut yang biadab itu
Para
tetangga mulai berteriak
Racauan
dari masyarakat setempat mulai bergetaran
Hai,
Pak! Tidakkah kau merasakan nusantara mulai bergetar?
Kau
janjikan dengan rabok yang bisu
Hentikan
semuanya!
Bulan
demi bulan semua terbakar
Hei,
Pak! Masihkah kau diam saja seperti ini?
Serang, 10 November 2015
_________________________________________________________________________________
ADHESI ASAP
Bilamana
semua mulai mengepul
Indonesia
mulai mengabu-abu
Kapan
hujan? Seperti dulu!
Apa
ia sudah bosan begini melulu
Tuhan,
asap ini mulai melekat
Mereka
tak mulai kuat
Ispa
mulai mengikat
Emosi
mulai tak tahu adat
Semua
bergemuruh berbelas kasih
Kami
meracau hati yang perih
Bagai
mata yang mulai mendidih
Seperti
napas yang mulai menindih
Jangan
terlalu memberi harap
Jika
taka da tujuan yang mantap
Tuhan,
hilangkanlah asap
Serang, 10 November 2015
_________________________________________________________________________________
KAU TAK
JUGA KELUAR
Aku menaruh bunga mawar busuk
di beranda rumahmu, kau tak juga keluar. Aku melempar telur busuk pada kaca
jendelamu, kau tak juga keluar. Aku mengoles darah busuk pada pagarmu, kau tak
juga keluar. Aku mencoba membuka pintu kamarmu, kau tak juga keluar. Aku mencoba
membuka pintu kamarmu, kau memberiku kabar busuk tentang tubuhmu dan tubuhnya.
Kini, aku yang harus keluar.
Tangerang, 31 Mei 2016
_________________________________________________________________________________
LARUT
Pada malam yang sangat larut
Aku tak tahu sudah berapa rindu yang kupungut
Ditemani semut-semut
Yang membantuku menarik selimut
Lihatlah kesini, hatiku mulai berlumut
Gairah mulai tak patut
Kemana kau ketikaku takut
Ini tidak lebih dari sekadar berjarak dengan
maut
Bukan juga antara pundak dan lutu
Semakin larut kau tak kunjung ikut
Malam semakin larut
Dan aku mulai menuntut
Tangerang, 31 Mei 2016
_________________________________________________________________________________
SEJAK AGUSTUS ITU
Sejak Agustus itu kau
menghilang. Tidak ada aksara setelah dua tahun yang lalu. Dengarnya, kau pergi
bersama cita-cita. Jelas tak ada aku dalam cita-citamu
Sejak Agustus itu tak ada langkah
lagi. Tak ada harapan untuk memilikimu selamanya
Sejak Agustus itu. Aku
bersemayam pada puisi. Puisi yang tidak merubah apapun
Sejak agustus itu. Akupun
berlari mengejar cita-citamu. Tapi tak pernah tertangkap. Tak ada puisi. Tak
ada prosa. Tak ada aksara apapun lagi
Sejak agustus itu. Sejak dua
tahun yang lalu
Tangerang, 31 Mei 2016
_________________________________________________________________________________
MEI DAN
MUSIM-MUSIM PADA KACA JENDELA
Oleh: Adi Prasatyo dan Putri Jambidi
Tuts hitam putih itu kini beku. Seperti salju
baru saja turun. Tapi ini Mei dan lagu musim semi baru akan dimulai. Daun-daun
kuning mulai menyilaukan. Ada yang bilang, langit pasti indah. Penyanyi jalanan
menyanyikan lagu kebangsaan. Tapi angin masih saja tak karuan.
Ingatannya kembali pada rambut hitam kekasih
yang bergoyang seperti ranting pohon. Kini, di lagu yang kunyanyikan rambutmu
terus menutup mulutku. Nada pada musim semi kian bergemuruh. Entah katau
jenuh. Atau tak ada lagi nada setiap musim semi yang kau beri. Tapi ada yang
meminta lebih dari musim semi. Seperti janggut yang selalu tumbuh setelah
dicukur berulang kali.
Musim semi kini menghilang, bukan kita yang tak
pedulikan. Tapi hujan yang telah mendorongnya. Seperti masa depan kelak, entah
dingin atau panas kisah selanjutnya. Tidak hanya musim yang berganti. Kitapun
bisa. Bukan tentang kopi atau teh yang kita minum, panas atau dingin
keadaannya. Tapi tentang siapa yang terlebih dulu membuka kesempatan.
Setiap kita bisa memilih, seperti anak-anak
yang bisa memilih apa saja untuk dimasukkan ke mulutnya. Akh, orang tua
terkadang lupa bahwa kita masihlah semi hingga esok pagi. Robeklah dada
pohon-pohon di abad yang kikis ini. Angkatan durja yang bangkit dan hanya
mengabdikan kesempatan hanya pada sebuah foto berwarna. Tidak melihat sisi
baik. Padahal napas kita adalah satu jantung kita adalah batu. Dan kita berbuat
baik hanya pada cinta.
Musim-musim di bulan Mei. Kau bilang tak pernah
ada hujan bulan ini. Ia sangka, tak akan kekeringan bulan ini. Bulan apa ini?
Mei dengan hujan yang semi. Tanah, langit, awan, kamu, masih tetap kelabu.
Mungkin Mei yang penuh kelabu seperti katamu.
Tapi ada sedikit warna jingga di sana jika kau telusuri. Pada kaca jendela.
Itulah yang kusebut lumut. Semacam maut yang bahagia sendiri dengan mahkota.
Tangerang, 31 Mei 2016