Laman

Jumat, 18 November 2016

Profil Penulis: PUTRI JAMBIDI

Putri Jambidi gadis berdarah Yogyakarta lahir di Jakarta pada tanggal 22 Desember 1994. Gadis lulusan manajemen di salah satu Universitas negeri di Indonesia, yaitu Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini sangat menyukai tulis-menulis sejak sekolah dasar. Putri masih aktif dalam organisasi Forum Keluarga Mahasiswa Untirta dan Bengkel Menulis Sastra Untirta, Putri juga bergiat di komunitas Malam Puisi Tangerang serta pernah menjadi jurnalis di Redaksi Mantra (Masyarakat Seni dan Sastra) Tangerang Selatan. Kini, Putri didaulat menjadi peserta beasiswa Akademi Indonesia Kreatif 2016 bagian kepenulisan oleh Banten Muda Community (biem.co). Putri pernah menjuarai lomba menulis esai dari Korean Creative bekerjasama dengan HanIn Post di Jakarta Convention Center pada Oktober 2016. Karya-karya mandirinya yang sudah terbit, yakni: Polemik Hati (nulisbuku.com, 2015), Kaktus (Buletin Mantra, 2015), Yaum Yogyakarta (Buletin Mantra, 2015), Kopi Hitam (Buletin AksWara, 2015), Cinta Tak Bertuan (nulisbuku.com, 2016), dan beberapa karyanyanya masuk dalam antologi bersama.

Putri juga aktif di beberapa sosial media, sila menyapanya di:
- Surel: suratelektronikputri@gmail.com
- Instagram: putrijambidi
- Twitter: @putrijambidi
- Facebook: Putri Jambidi

Jumat, 28 Oktober 2016

Puisi-Puisi Putri Jambidi

JIWAMU, AYAH
Lembaran-lembaran hidup itu
Keringatmu..
Jiwamu terus terombang-ambing dunia petaka luar
Langkahmu menuju niat kehidupan
Hatimu kuat..
Ajarkan aku menghadapi dunia petaka luar
Ajarkan aku menghadapi lelahnya langkah aspal
yang membakar telapak kakimu

Tangerang, 11 Oktober 2013


_________________________________________________________________________________


TEPIAN SUNGAI
Riakan air yang kudengar
Menemaniku tepat di tepi sungai
Cermin wajahku di sungai
Kupandangi sekejap
Kuratapi dunia
Transparan air yang memantulkan arti
Kulihat negeriku dengan keprihatinan
Kutimpukkan batu-batu kecil agar gelombang
Agar hancur..
Duniaku.. negeriku..
Air dan api
Bagai gelombang air yang ribut
Api yang menelan ribuan kampung
Negeriku yang selalu menyakiti
Duniaku yang selalu tersakiti
Aku melihat ribuan spanduk terpampang
Mengganggu jalan
Foto-foto mereka yang tersenyum menjengkelkan
Dilapiskan coretan-coretan karya anak bangsa
Aku tertawa..
Apa yang kau pinta dari setiap senyuman yang menggangu jalan.. tuan
Tujuan apa masyarakat yang melintas dan melihat senyummu.. tuan
Wajahku hancur di genangan sungai ini
Memikirkan pejabat-pejabat yang tak pernah kutemui
Bahkan tak harus kupikirkan
Mereka yang berlomba-lomba membuang uang rakyatnya
Hanya untuk bahan kampanye
Hidup mereka sudah bahagia di dunia
Bahkan mereka lebih bodoh dariku
Tangerang, 12 Desember 2013


_________________________________________________________________________________

HUJAN
Mereka mencari singgah teduh
Termasuk aku
Tanpa permisi kau jatuh begitu saja
Hujan.. aksimu menakutiku
Bersama petir yang berdentam-dentam
Bagai perang dunia yang tak kunjung reda
Dalam benakku kau tahu?
Aku ingin menerkam keras dirimu
Namun tak selangkah pun kusanggup
Dan nasibku menikmati racau dari orang sekitar
Bahkan jahar dari masjid pun tak terdengar
Seharusnya senja yang datang
Kau menikungnya
Kau melihatku seperti apa?
Manusia payah yang bersembunyi darimu?
Sadarlah rakyatmu tak satu
Kau terlalu padan
Hujan..
Kuperhatikan kau dengan suara-suara gadruhmu
Meninggalkan basah pada jalan itu
Cepatlah reda
Dan kembali setelah kupergi



Serang, 08 Januari 2014
_________________________________________________________________________________
  
PUNGGUNGMU
Di persimpangan jalan itu
Kau berjalan mengumpatkan tangan pada kantung celanamu
Punggungmu tersenyum padaku
Sedikit-dikit kau menoleh ke samping
Tak pernah menoleh ke belakang
Punggungmu masih terus tersenyum padaku
Lihatlah ke belakang
Ada cinta di belakangmu
Ada rusuk yang menunggu punggungmu
Punggungmu berteriak
Rusukku menangis
Aku tak ingin terburu-buru pulang
Tengoklah sebentar
Ada cinta di belakangmu



Tangerang, 22 Maret 2014


_________________________________________________________________________________

UNTUKMU ULIL AMRI DUNIA
Sesat.. bagaimana aku harus menemukan
Tersesat dalam pikiran yang tak layak kupikirkan
Bagaimana..
Dimana..
Otakku terbunuh
Mencoba melangkahi aspal demi aspal
Tanpa alas kaki
Yang kian semakin panas
Mencari keadilan dunia
Matahari melepuhkan langkahku
Melangkah.. berjalan.. berlari..
Kemana mereka semua?
Aku manusia tercipta untuk penuh hormat pada Ulil Amri
Ulil Amri sang Maha Agung
Bagaimana bisa aku berhenti menghormatimu
Berhenti menjulurkan sebelah tanganku setiap saat

Menopang receh dari lemparan mereka
Tolonglah aku
Dimana mereka?
Tangerang, 09 April 2014

_________________________________________________________________________________

INI JIWA KAMI
Ini jiwa kami..
Tak akan lemah dengan bodohmu
Tak akan lelah mengusikmu
Tak akan kalah dengan guyonmu
Ini jiwa kami..
Tak akan selesai
Tak akan berhenti
Tak akan diam sampai di sini
Ini jiwa kami..
Bergerak.. berontak..
Menggebrak.. berteriak..
Kemudian memarak
Kami adalah rakyatmu
Beri kami nikmat
Kami bukan mayatmu
Yang telah kau siasat
Ini jiwa kami..
Selalu berdiri di sini
Berani menghakimi
Untuk menyamankan hak kami

Serang, 10 Mei 2014


_________________________________________________________________________________

KAKTUS
Boleh kau duduk saja
Mentang-mentang kami hanya mahasiswa
Kau pikir kami bunga
Dengan indah berdiri dalam potnya
Dengan pupuk yang seadanya
Dan sedikit siraman air seperti biasanya

Boleh kau abaikan aksara demi aksara kami
Asal kau jadikan kami dari setangkai bunga hingga sekokoh Old Tjikko
Asal kau beri kami pupuk sebanyak air yang berada dalam sungai Aru

Nyatanya kau jadikan kami kaktus
Sedikitpun tak mendekat akan takut duri kami
Hanya mengandalkan setetes air dari hujan
Karena kau tahu, kaktus tak butuh  air seluas sungai Amazon

Coba kau mendekat sedikit kepada kami
Mahasiswa yang kau anggap kaktus
Jangan hanya mandi uang saja
Mandikan kami juga, Tuan
Kami tak akan menusukmu dengan duri kami
Asal kau hati-hati

Kami bisa menghasilkan seputik bunga yang indah
Lebih indah dari Eidelweis yang orang-orang dambakan
Jika kau ingin, Tuan

Serang, 14 Mei 2014

_________________________________________________________________________________
 
JARAK

Aku melihat bintang yang kau lihat juga
Ia memberi pesan kau sedang menatapnya
Berkelap-kelip sangat malu kita pandang
Cahaya meronamu masih sama terpancar bintang itu
Tak sedikitpun terubah

Jarak tidak pernah menertawai kita
Jangan.. jangan salahkan jarak yang fana
Kasihan ia..
Tak tahu apa-apa
Selalu tersalahkan
Ketika sejoli merasakan rindunya

Aku sendiri di sini merindukanmu..
Aku di sini denganmu..
Selalu denganmu..
Dan mencintaimu..

Serang, 28 Juni 2014

_________________________________________________________________________________

KOPI DAN SENJA

Aku berdiri di tepi danau
Ditemani burung yang ramai berkicau
Sambil kududuki rumput
Dengan kopi yang kusruput

Langit mulai memancarkan warna
Kini aku merasakan datangnya senja
Dan matahari yang tinggal setengah
Serta kopiku yang hampir punah

Kini kopiku mulai dingin
Karena kencangnya haluan angin
Aku mulai berdiri
Dan memberi salam “sampai jumpa” pada matahari


Tangerang, 15 Maret 2014 

_________________________________________________________________________________
 
NOSTALGIA PERANTAU
Bilamana dulu terbangun
Ibu yang terlihat anggun
Berseri memberi isyarat sinar t’lah datang menegun
Terdiam sejenak.. teriakan itu hadir lagi
Telunjuknya mengarah jarum jam enam pagi
Aku harus mandi
Mataku masih berbasa basi
Tak disangka nostalgia pagi ini datang lagi

Hujan turun sore ini
Biasanya, kopi menjadi orang ketiga antara cintaku dengan Bapak
Sekarang aku bercinta sendiri dengan kopi
Panas terik siangku
Kubukakan pintu gerbang untuk Bapak
Namun sekarang tak pernah lagi

Aku ditertawakan oleh jarak
Seberapa kuat aku mendagi jarak
Ah.. nostalgia mulai mengarak

Dulu.. telenovela kalah dengan siaran sepakbola
Kini aku tak harus berebut remot tv dengan Bapak
Dulu.. Ibu sering mengancam agar aku makan
Sekarang aku sering terkena magh

Ada yang salah dengan langitnya?
Anginnya?
Atau bulatan cakrawalanya?
Mengapa tak sama dengan rumah?

Si perantau bernostalgia lagi
Jarak mulai menertawakannya kembali
Aku terus mendagi
Seberapa kuat melawan cobaan jarak ini

Serang, 22 November 2014

_________________________________________________________________________________

SENYAWA BIRU
Ada hati yang bersatu padu
Dibawah langit berwarna biru
Makhluk senyawa yang bersangkut paut
Sulit terpisah, walau berbeda dengan perbandingan tertentu

Akulah si senyawa biru
Menanti prajuritku
Bertukar darah di medan perang itu
Langit masih saja biru
Tak ada senja atau kelabu
Para pesuruh ayah datang menjemput
Mereka takut senyawa birunya hilang
Atau ikut pula beradu tulang

Akulah si senyawa biru
Menanti prajuritku
Di bawah langit biru
Sendiri termenung
Tak ada kabar burung sekalipun
Tangerang, 04 Januari 2015

_________________________________________________________________________________
 
DOA DI ATAS AWAN
Sujud teristimewaku
Tak lagi awan di atasku
Rukuk terindahku
Yang tertinggi di tanah negeri
Tahiyad terbaikku
Di atas puncak Mahameru

Kunut subuhku
Saksi khusyukku pada Tuhan
Ribuan do’a berucap keluar berdorongan
Limpahan Sa’adah di atas awan
Tak sadar aku dan Tuhan berhadapan

Berbisik seribu kata
Kepada angin yang menusuk tulang
Kepada langit yang mulai oranye
Kepada embun yang mulai mencair
Ini do’a tertinggiku

Tangerang, 06 Januari 2015

_________________________________________________________________________________
 
BUNGA ITU..
Desir ombak setelah topan
Kau di bawah pohon kelapa
Tak meninggalkan cerita
Menunggu sekuntum bunga
Tak tahu kapan mekarnya

Kau pandang langit abu
Terlihat badai yang lalu
Masih menakutimu
Terendam di hatiku

Bunga itu..
Pernah mekar di masa lalu
Tak setelah ombak mengguyur pilu
Cahaya ayu terdorong malu
Tertimpuk dengan batu
Kini menjadi apu-apu

Bunga itu..
Tak indah lagi
Tak bedanya ari
Tertimbun aib
Teringat mati
Bunga itu..
Membunuh diri dalam lautan sunyi
Menitipkan pesan pada merpati


Tangerang, 07 Januari 2015

_________________________________________________________________________________

SAJADAH TANAH MAKKAH
Aku membentangkan sajadah merah
Di atas tanah termewah
Tak ada aba-aba
Setetes air meninggalkan matanya
Hangat terpeluk Hawa
Sang Adam menunggu di sebelahnya
Dua tetes air mata jatuh di tanah Syurga
Matakku memantulkan cahaya sang Makkah
Berhimpun malu dengan dosa
Bersyukur hati pada berkah



Tangerang, 09 Januari 2015

_________________________________________________________________________________
 
KALEIDOSKOP HITAM
Aku menulis sebuah surat cinta
Yang ku kirim hanya untuk dia
Isinya tentang setahun yang usai
Sebenarnya masih bersambung
Ia tak berkenan meneruskan

Surat cintaku tak terkirim jua
Aku mulai merasakan kegaduhan rindu
Malam tak kunjung berganti subuh
Surat cintaku tak kunjung terkirim

Malam ini aku disajikan peristiwa
yang telah terjadi secara singkat
Di bawah langit hitam
Di atas genting rumahnya
Ia tak kunjung datang
Tak akan kembali lagi

Gempur hati tak cepat berhenti
Mulutku mulai merinai
Merinaikan dirinya yang tertidur pulas
Ayam mulai berkokok
Akupun menyadarinya
Surat cinta ini tak akan terkirim
Selesai sampai di sini
Karena aku yang tak akan kembali

Tangerang, 10 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
 
REMBULAN SINGGAH
Malam tak lagi larut
Dini mulai datang
Jalan yang menerkam maut
Kulihat pemabuk bodoh yang malang

Sebentar lagi subuh datang
Akan masih seperti biasanya
Akan masih dengan busana compang
Berhadapan dengan kaleng berisi uang

Rembulan.. jangan terburu-buru kau singgah
Aku masih ingin menikmati Jakarta malam
Rembulan.. jangan terburu-buru kau singgah
Padahal tikus berdasi itupun tak membayarmu

Rembulan.. jangan terburu-buru kau singgah
Biarkan mentari itu istirahat sehari lagi
Rembulan.. jangan terburu-buru kau singgah
Izinkan sehari saja tak melihat roda empat lalu lalang di mataku

Racauan masjid mulai terdengar
Langit oranye hampir terlihat
Ah.. rembulan..
Mengapa kau terburu-buru singgah

Tangerang, 10 Januari 2015

_________________________________________________________________________________
 
HILANGNYA SANG SAJAK
Kita sempat bertukar aksara
Berkomunikasi sedikit banyaknya mewakili ujaran
Tanpa muluk kita saling mengerti
Tentang fonemis, fonetis, sekalipun morfenis
Berpindah hari
Memulai bersajak bersama

Kau pernah ingin menjadi Katalina
Agar dapat mendarat di air dan bersayap tinggi
Kau hanya ingin aku menjadi Bendari
Agar selalu hadir di Katalinamu
Kini sajakku tak sempurna
Awarimaku sendiri tak punya teman
Kau pemberi sajak terakhir dalam nisan itu

Aku tak bisa menemukan sajak selanjutnya
Kini aku hanya ingin menjadi Katalisator
Agar bisa mempercepat peristiwa
Agar cepat menemukan sang sajak yang tiada



Tangerang, 13 Januari 2015
_________________________________________________________________________________
 
MATAHARI TAK PADAM
Aku tak hilang, tetap bersamamu
Tak ingin membunuhmu
Jangan mencariku
Bulan.. jagalah ia dulu
Tutuplah cepat matamu
Aku akan kembali di sampingmu
Jangan menungguku
Aku tak padam di hatimu
Jangan singkirkan aku
Apa kau akan mati di hadapanku?
Bulan.. jagalah ia dulu
Bilang padanya aku tak padam
Hanya tak bisa dalam temaram
Ini kutukan alam
Tak bisa kembali malam
Akan datang dalam pagimu yang tenteram


Tangerang, 14 Januari 2015

_________________________________________________________________________________

WARNA-WARNI

Seluas warna biru mengguyur lautan
Aku bermimpi sang jutawan
Tekad menggebu semerah api
Menggores hidup dalam kertas putih
Memulainya di bawah langit kuning dan oranye
Berlari ceria di atas rumput hijau yang basah
Bersama sepatu abu-abuku
Tersandung batu hitam serta berdarah
Tertolong pujangga hati sang pelangi
Senyum bibir merah mudanya
Tak terlewatkan kuajak bergandeng
Ransel ungunya yang menawan
Sejajar dengan ransel nilaku yang jantan
Terhenti di bawah langit jingga



Tangerang, 15 Januari 2015

_________________________________________________________________________________
 
SETAHUN BERKISAH
Dulu aku benci pelangi
Datang dan pergi begitu saja
Dulu kau seperti bulan dan matahari
Hadir di malam dan siangku
Kisah kita tak terlalu lama
Berlalu tak sampai sewindu
Berhenti tanpa kau tahu apa yang terjadi
Dulu kita hidup di awan yang sama
Menghembus udara yang sama
Menginjak tanah yang sama

Setahun berkisah..
Kau hilang tanpa meninggalkan arah
Tanpa secarik kertas berisi kau akan kembali
Tak berkenan mengisi cerita lagi
Aku kehilangan matahari dan bulanku
Aku menginginkan pelangi sebentar saja
Atau satu bintangpun cukup untukku

Tangerang, 17 Januari 2015

_________________________________________________________________________________

YAUM YOGYAKARTA
Lihatlah, aku pulang
Menginjak tanah kelahiran
Bersorak seperti mereka
Di tengah keramaian Pawai Budaya
Apa kabar tujuh Oktober?
Aku rindu Pisowanan
Sinar lampion serta umbul-umbul mengalahkan bulan
Aku rindu jalan Brigjen Katamso
Bersama panggung rakyat Yogyakarta
Jam berbunyi lantang
Kubuka mata, kulihat dinding-dinding Las Vegas
Kubuka jendela
Hei.. dimana lampionnya?
Aku ingin berteriak bersama Pawai Budaya
Menyipitkan mata
Tak terlihat sama sekali
Hei.. bukankah ini tujuh Oktober?
Bagaimana Pisowanan di keraton?
Nostalgia sang perantau..
Aku bernostalgia kembali
Aku di sini..
Bersama negeri yang jauh dari Yogyakarta
Sering kali kucicip kopi susu Las Vegas
Tetap nikmat kopi tubruk Ibu
Tidurlah..
Aku tak bisa berdiam diri saja
Sendiri menikmati tujuh Oktober?
Yang benar saja..
Kupejamkan sekali lagi
Tangerang, 04 April 2015

_________________________________________________________________________________

POLIANTHES TUBEROSA
Selalu hadir di malam hari
Mendengar racauan pria berkantung tebal
Harummu semerbak
Tak kuasa mereka menahan
Tak pedulikan pedihmu
Terus merabak pakaianmu
Kemudian, impianmu bersama gabai-gabai tercapai
Lihainya icak-icak wajah bahagia
Bersama belang satu dan sebelumnya
Tak akan pergi selain malam
Mereka bilang kau tak akan mekar
Kau iri kepada Rosa Canina
Tak pernah tersakiti
Indah pagi hingga malam
Pemanis hiasan hidup setiap orang
Padahal ianya berduri tajam
Polianthes Tuberosa..
Tak bisakah kau melihat Mirabilis Jalapa saja
Hanya mekar dalam ba’da Ashar
Kemana saja ia?
Hanya menjadi babu fotonasti
Dunia tak pernah adil, katamu
Polianthes Tuberosa..
Tak butuh matahari tuk indah
Diam saja di rumah
Akan tetap harum
Tak usah kembali kepada para si kantung tebal
Tetaplah di rumah
Biarlah kau menjadi pemanis hiasan rumah
Percaya, waad Tuhan tak akan ingkar
Bunga mana pun akan tetap layu jua
Tangerang, 05 April 2015

_________________________________________________________________________________
  
BULAN GENDUT TLAH MENJADI SABIT
Bulan gendut tlah menjadi sabit
Enyah termakan sakit
Sebab rindu oleh sang bait
Akibat hati yang sangat pahit
Bulan gendut tlah menjadi sabit
Kapan ia akan hilang?
Berhenti menyakiti yang datang
Lalu terkubur bersama ilalang
Bulan gendut tlah menjadi sabit
Tidak lagi sang purnama
Tidak lagi menunggunya
Sebab ia yang melepaskannya
Bulan gendut tlah menjadi sabit
Menikmati karma
Melihatnya bahagia
Bersama matahari sang surya
Tangerang, 01 Juli 2015
_________________________________________________________________________________
  
RABUN RIAU
Pada televisi di sore itu
Pria berkacamata memberitakan
Dengan cuplikan suatu foto
Namun mengapa buram?
Ada apa pula dengan bayi dalam televisi itu?
Rabun Riau mulai mengantal
Merabuni sejumlah makhluk yang tak berdosa
Kemana mereka?
Perabun pengecut yang biadab itu
Para tetangga mulai berteriak
Racauan dari masyarakat setempat mulai bergetaran
Hai, Pak! Tidakkah kau merasakan nusantara mulai bergetar?
Kau janjikan dengan rabok yang bisu
Hentikan semuanya!
Bulan demi bulan semua terbakar
Hei, Pak! Masihkah kau diam saja seperti ini?
Serang, 10 November 2015

_________________________________________________________________________________

ADHESI ASAP
Bilamana semua mulai mengepul
Indonesia mulai mengabu-abu
Kapan hujan? Seperti dulu!
Apa ia sudah bosan begini melulu
Tuhan, asap ini mulai melekat
Mereka tak mulai kuat
Ispa mulai mengikat
Emosi mulai tak tahu adat
Semua bergemuruh berbelas kasih
Kami meracau hati yang perih
Bagai mata yang mulai mendidih
Seperti napas yang mulai menindih
Jangan terlalu memberi harap
Jika taka da tujuan yang mantap
Tuhan, hilangkanlah asap
Serang, 10 November 2015

_________________________________________________________________________________
  
KAU TAK JUGA KELUAR
Aku menaruh bunga mawar busuk di beranda rumahmu, kau tak juga keluar. Aku melempar telur busuk pada kaca jendelamu, kau tak juga keluar. Aku mengoles darah busuk pada pagarmu, kau tak juga keluar. Aku mencoba membuka pintu kamarmu, kau tak juga keluar. Aku mencoba membuka pintu kamarmu, kau memberiku kabar busuk tentang tubuhmu dan tubuhnya. Kini, aku yang harus keluar.
Tangerang, 31 Mei 2016

_________________________________________________________________________________

LARUT
Pada malam yang sangat larut
Aku tak tahu sudah berapa rindu yang kupungut
Ditemani semut-semut
Yang membantuku menarik selimut
Lihatlah kesini, hatiku mulai berlumut
Gairah mulai tak patut
Kemana kau ketikaku takut
Ini tidak lebih dari sekadar berjarak dengan maut
Bukan juga antara pundak dan lutu
Semakin larut kau tak kunjung ikut
Malam semakin larut
Dan aku mulai menuntut
Tangerang, 31 Mei 2016

_________________________________________________________________________________ 

SEJAK AGUSTUS ITU
Sejak Agustus itu kau menghilang. Tidak ada aksara setelah dua tahun yang lalu. Dengarnya, kau pergi bersama cita-cita. Jelas tak ada aku dalam cita-citamu
Sejak Agustus itu tak ada langkah lagi. Tak ada harapan untuk memilikimu selamanya
Sejak Agustus itu. Aku bersemayam pada puisi. Puisi yang tidak merubah apapun
Sejak agustus itu. Akupun berlari mengejar cita-citamu. Tapi tak pernah tertangkap. Tak ada puisi. Tak ada prosa. Tak ada aksara apapun lagi
Sejak agustus itu. Sejak dua tahun yang lalu
Tangerang, 31 Mei 2016

_________________________________________________________________________________ 

MEI DAN MUSIM-MUSIM PADA KACA JENDELA
Oleh: Adi Prasatyo dan Putri Jambidi
Tuts hitam putih itu kini beku. Seperti salju baru saja turun. Tapi ini Mei dan lagu musim semi baru akan dimulai. Daun-daun kuning mulai menyilaukan. Ada yang bilang, langit pasti indah. Penyanyi jalanan menyanyikan lagu kebangsaan. Tapi angin masih saja tak karuan.
Ingatannya kembali pada rambut hitam kekasih yang bergoyang seperti ranting pohon. Kini, di lagu yang kunyanyikan rambutmu terus menutup mulutku. Nada pada musim semi kian bergemuruh. Entah katau jenuh. Atau tak ada lagi nada setiap musim semi yang kau beri. Tapi ada yang meminta lebih dari musim semi. Seperti janggut yang selalu tumbuh setelah dicukur berulang kali.
Musim semi kini menghilang, bukan kita yang tak pedulikan. Tapi hujan yang telah mendorongnya. Seperti masa depan kelak, entah dingin atau panas kisah selanjutnya. Tidak hanya musim yang berganti. Kitapun bisa. Bukan tentang kopi atau teh yang kita minum, panas atau dingin keadaannya. Tapi tentang siapa yang terlebih dulu membuka kesempatan.
Setiap kita bisa memilih, seperti anak-anak yang bisa memilih apa saja untuk dimasukkan ke mulutnya. Akh, orang tua terkadang lupa bahwa kita masihlah semi hingga esok pagi. Robeklah dada pohon-pohon di abad yang kikis ini. Angkatan durja yang bangkit dan hanya mengabdikan kesempatan hanya pada sebuah foto berwarna. Tidak melihat sisi baik. Padahal napas kita adalah satu jantung kita adalah batu. Dan kita berbuat baik hanya pada cinta.
Musim-musim di bulan Mei. Kau bilang tak pernah ada hujan bulan ini. Ia sangka, tak akan kekeringan bulan ini. Bulan apa ini? Mei dengan hujan yang semi. Tanah, langit, awan, kamu, masih tetap kelabu.
Mungkin Mei yang penuh kelabu seperti katamu. Tapi ada sedikit warna jingga di sana jika kau telusuri. Pada kaca jendela. Itulah yang kusebut lumut. Semacam maut yang bahagia sendiri dengan mahkota.

Tangerang, 31 Mei 2016